Perlawanan Panjang Petani Kendeng
- Foe Peace
VIVA.co.id – Perlawanan panjang para petani pegunungan Kendeng dalam menolak operasional Pabrik Semen Indonesia terus menggelora. Gelora perlawanan rakyat pun tergambarkan dengan aksi dramatis puluhan petani pegunungan Kendeng yang nekat mengecor kedua telapak kakinya.
Aksi cor kaki yang berlangsung sekitar setahun lamanya itu tampaknya tidak membuka mata batin pemerintah Indonesia untuk menghentikan operasional pabrik semen yang digawangi oleh BUMN itu.
Pengacara Publik YLBHI Siti Rahma Mary menyatakan, pihaknya sangat menyayangkan upaya acuh tak acuh pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo yang tidak peka terhadap gelombang penolakan petani Kendeng selama ini.
Menurutnya, aksi nekat para petani Kendeng tidak akan terjadi, apabila pemerintah selama ini dapat mendengar aspirasi masyarakat dan patuh pada ketentuan hukum yang berlaku.
"Aksi penolakan terhadap operasional pabrik semen di Kendeng ini bukan baru kali ini kita lakukan, tapi perjuangan ini sudah kami lakukan sejak tahun 2009 lalu di Pati," kata Siti Rahma di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa 21 Maret 2017.
Ia menjelaskan, posisi pegunungan Kendeng terletak membujuri enam kabupaten di Jawa Tengah, diantaranya Kabupaten Pati, Rembang, Gerobakan, Blora, dan Bojonegoro. Rencana pemerintah membangun pabrik semen pun sudah dimulai sejak tahun 2009 silam di Kabupaten Pati.
"Semen Gresik tahun 2009 kami gugat di Kabupaten Pati, kemudian pindah ke Rembang menjadi Semen Indonesia, di Pati kemudian muncul Indocement kami gugat lagi ke PTUN Semarang, menang tapi di Mahkamah Agung baru mendengar kabar bahwa gugatan kami itu kalah. Untuk Semen Indonesia kami menang sampai di Peninjauan Kembali (PK)," ujarnya.
Ironisnya, lanjut Siti Rahmah, hingga saat ini operasional pabrik PT Semen Indonesia di Rembang itu masih tetap berjalan tanpa mengindahkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan agar operasional pabrik semen Indonesia itu dihentikan.
Sehingga ia menyimpulkan bahwa pemerintah selama telah mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang seharusnya dipatuhi oleh pejabat negara untuk kemaslahatan masyarakat sekitar pegunungan Kendeng.
Senin sore, 20 Maret 2017, perwakilan petani Kendeng yang melakukan aksi ekstrim pasung kaki sempat bertemu dengan pihak Istana. Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki sempat menemui perwakilan petani Kendeng di lingkungan Istana.
Teten meminta agar aksi yang dilakukan 55 orang itu dihentikan sementara sampai pemerintah mengeluarkan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan untuk memutuskan apakah operasolional pabrik semen Indonesia itu benar-benar mengganggu ekosistem lingkungan atau tidak
"Kami, perwakilan warga menolak tawaran KSP yang hendak menggantungkan penyelesaian konflik itu dengan penerbitan laporan KLHS. Sehingga kami memutuskan untuk tetap melakukan aksi pasung kaki di sini," kata Pengacara Publik YLBHI Muhammad Isnur.
Penolakan itu diamini oleh Siti Rahmah. Menurut Siti, tujuan perlawanan petani Kendeng bukan semata-mata mengandalkan studi lingkungan KLHS semata. Sebab, dalam proses studi KLHS yang dilakukan pemerintah, pemerintah terkesan sangat tertutup dan sama sekali tidak melibatkan warga atau masyarakat Kendeng yang selama ini menolak keberadaan pabrik semen tersebut.
"Karena yang dituntut masyarakat ini tidak sekedar yang diinginkan KLHS (berhenti sementara) tapi kita meminta dibatalkannya ijin lingkungan yang dikeluarkan oleh Ganjar Pranowo yang itu jelas-jelas melanggar hukum, melanggar PP ijin lingkungan dan juga yang menggunakan dasar hukum yang sudah dicabut sebelumnya itu," ujar Siti.
Tidak hanya itu, lanjut Siti, pihaknya tidak percaya dengan pola penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh pemerintah, sebab hasil KLHS tidak menjamin operasional pabrik semen Indonesia yang diyakini cacat hukum itu akan berhenti secara permanen.
"Kalau yang kami tempuh sekarang ini adalah meminta agar Presiden Jokowi membatalkan izin operasional pabrik semen, bukan menghentikan sementara," tegasnya.
Selanjutnya... Duka petani Kendeng
Petani Kendeng Berduka
Petani Kendeng dan segenap pecinta lingkungan hidup yang menolak operasional pabrik PT Semen Indonesia di Rembang hari ini harus menundukkan kepalanya atas wafatnya salah satu petani Kendeng yang ikut terlibat aktif melakukan aksi pasung kaki di depan Istana Negara kemarin.
Patmi (48 tahun) yang baru saja membuka coran kakinya sekitar pukul 20.00 WIB malam diketahui meninggal dunia pada pukul 02.55 WIB dini hari tadi dalam perjalanan dari YLBHI menuju rumah sakit Saint Carolus, Jakarta Pusat.
Menurut Isnur, sebelumnya almarhum Patmi tidak pernah mengeluhkan kondisi kesehatannya selama menjalani aksi pasung kaki sejak 16 Maret 2017 lalu. Bahkan, lanjutnya, tim medis sebelumnya menyatakan bahwa Patmi dalam keadaan sehat wal Afiat.
"Kita kan selalu mengecek kondisi kesehatan peserta aksi kan, dokter kita juga sebelumnya bilang kondisi kesehatan Bu Patmi baik-baik saja dan memang tidak ada keluhan apa-apa sebelumnya," kata Isnur.
Ia menambahkan, Patmi adalah salah satu peserta aksi pasung kaki yang memang sudah berencana pulang ke kampung halaman. Hal itu disebabkan, pasca pertemuan dengan pihak istana, petani Kendeng menyepakati bahwa yang akan melanjutkan aksi pasung kaki di Jakarta hanya sembilan orang.
"Tapi dengan kejadian ini, kami semua tengah berduka, kami putuskan untuk semuanya pulang ke kampung halaman sekaligus memberikan dukungan kepada keluarga Bu Patmi di Rembang atas musibah yang dialami. Perjuangan kami belum selesai sampai di sini, kami akan tetap melanjutkan perjuangan Bu Patmi dan petani Kendeng lainnya," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Human Right Committe and Sosial Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menyatakan, wafatnya Patmi adalah salah satu fakta pilu yang harus dijawab oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Menurutnya, Patmi adalah salah satu dari ribuan masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan Kendeng yang sehari-hari mengandalkan hidup dari kondisi lingkungan sekitar pegunungan yang saat ini tengah dieksploitasi oleh PT Semen Indonesia.
Dalam menjalankan aktivitas tambangnya, lanjut Ridwan, Pabrik semen tersebut banyak memberi dampak buruk bagi produktvitas masyarakat tani, seperti ratusan sumber mata air, gua, sungai bawah tanah akan rusak. Belum lagi aktivitas penambangan itu akan menimbulkan polusi debu, dan mengganggu ekosistem alamiah di daerah pegunungan Kendeng.
"Saat ini, warga Kendeng membutuhkan dukungan luas, Presiden Jokowi mesti bersikap. Para pihak yang terlibat konflik ini harus taat pada jalur hukum. Presiden harus memastikan jajarannya seperti Gubernur, Bupati, untuk peduli pada warga, memelihara lingkungan dan taat pada hukum. Ini harus cukup sampai di sini saja, berikan Kendeng untuk masyarakat di sekitar pegunungan," kata Ridwan.