Tak Puas, Keluarga Korban 65 Gelar Kongres di 9 Daerah
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – Setelah pemerintah dan kelompok korban menggelar Simposium 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta pada April 2016 lalu, para pegiat International People's Tribunal (IPT) 1965 merasa tidak puas dengan hasilnya. Sebab, hingga kini keputusannya masih cenderung abu-abu.
Untuk itu, IPT berencana menggelar kongres yang dinilai memiliki tekanan yang lebih besar dari dua agenda sebelumnya, karena melibatkan sembilan daerah di dalamnya.
Steering Committee IPT 1965, Dolorosa Sinaga, mengungkapkan dipilihnya kongres sebagai feedback untuk menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia peduli atas pengungkapan pelanggaran HAM berat yang mengawali masa Orde Baru.
"Kami sepakat untuk meneruskan perjuangan ini, salah satunya dengan menggelar tak hanya simposium tapi kongres, Kongres IPT 1965," kata Dolorosa di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 19 Maret 2017.
Ia menjelaskan, kegiatan pra kongres sudah disiapkan demi mengumpulkan aspirasi dari berbagai daerah.
"Tujuan lainnya kegiatan ini adalah untuk sosialisasi hasil sidang IPT 1965 sebelumnya, sekaligus juga menampung pemikiran yang lebih substansial dari tiap kota. Teman-teman nanti melakukan pertemuan dan membahas situasi yang mereka alami dalam kegiatan pengungkapan kebenaran tragedi 1965," ujarnya.
Setelah agenda ini dilakukan, sambung Dolorosa, mereka berharap pemerintah bisa mendengarkan secara keseluruhan apa yang selama ini diperjuangkan oleh IPT 1965. Sehingga, pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 bisa dituntaskan seadil-adilnya.
"Kongres itu harapan abadi kami bahwa keadilan dan kemanusiaan bisa ditegakkan di Indonesia," katanya.
Sementara itu, pegiat HAM yang mewakili IPT 1965, Harry Wibowo mengatakan, pelaksanaan kongres tersebut masih belum ditentukan kapan dan lokasinya. Kemungkinan besar, kata dia, akan dilaksanakan menjelang akhir tahun mendatang.
"Kongres 65 belum ditentukan, di akhir tahun mudah-mudahan nanti ya. Itu tujuannya untuk menggagas aspirasi, pengalaman dan jaringan yang nanti disampaikan di beberapa kota. Kemungkinan di daerah," katanya.
Hasilnya, menurut Harry, tidak akan jauh berbeda dengan agenda yang sebelumnya telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Hanya saja, sifatnya lebih kuat karena melibatkan beberapa daerah.
"Hasilnya tentu akan lebih kuat. Setelah dua agenda lalu kami lakukan, seperti di Jakarta tahun lalu dan di Den Haag Belanda secara inter. Kini kami mulai merambah ke level lokal untuk memacu aspirasi masyarakat," tuturnya.
Sekadar Informasi, pada Juli 2016, Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 telah menetapkan Tragedi 1965 sebagai kejahatan atas kemanusiaan.
Setidaknya, ada sembilan unsur kejahatan di dalamnya yaitu pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan perempuan, penculikan, kerja paksa, stigmatisasi, propoganda, dan penyertaan negara asing serta genosida.
Namun demikian, karena IPT 65 yang dilaksanakan di Belanda itu tidak resmi, hasilnya putusan tersebut masih mengambang dan tidak kuat secara hukum. (ase)