Kisah Persahabatan Hasyim Muzadi dengan Gus Dur
- VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id - Sebagian kalangan, terutama mereka yang awam tentang Nahdlatul Ulama (NU), memandang Hasyim Muzadi berseteru abadi dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Pandangan semacam itu didasarkan perselisihan terbuka Hasyim dengan Gus Dur akibat Muktamar NU di Boyolali, Jawa Tengah, pada 2004. Konflik itu berkaitan langkah politik Hasyim sebagai calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri pada Pemilu Presiden tahun 2004.
Hasyim kala itu memutuskan masuk politik praktis dengan mencalonkan wakil presiden, sementara dia masih menjabat Ketua Umum NU dan dibatasi Khitah 1926, garis haluan organisasi. Gus Dur tak setuju tetapi Hasyim mengabaikannya.
Pasangan Megawati-Hasyim kalah dalam Pemilu Presiden tahun 2004. Hasyim kemudian mencalonkan lagi untuk periode kedua sebagai Ketua Umum NU dalam Muktamar di Boyolali. Gus Dur melawan dan berupaya menjegal Hasyim.
Gus Dur mengancam akan keluar dari NU jika Hasyim terpilih lagi sebagai Ketua Umum. Gus Dur juga mengancam akan membentuk NU baru dengan nama, Nahdlatul Alim Ulama (NAU) atau Jam'iyah Kebangkitan Bangsa (JKB).
Persahabatan
Perselisihan itu berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya, meski belakangan mereda. Namun tak banyak yang mengetahui bahwa kedua tokoh itu sebenarnya bersahabat, bahkan selama lebih 20 tahun.
Hasyim menceritakan ulang persahabatannya dengan Gus Dur dalam sebuah forum diskusi di kampus Monash University Australia pada 11 Desember 2016, sebagaimana dikutip dari laman resmi Pesantren Al Hikam, Alhikam.ac.id.
Hasyim mengisahkan mula berjumpa Gus Dur dalam forum Muktamar NU di Semarang, Jawa Tengah, pada 1979. Saat itu Hasyim hadir dalam Muktamar sebagai utusan pengurus NU Malang, Jawa Timur. Sedangkan Gus Dur hanya sebagai peninjau karena dia belum masuk kepengurusan NU.
Tapi, dalam Muktamar itu, Gus Dur ditunjuk sebagai Wakil Katib Pengurus Besar NU. Gus Dur lalu sering berkunjung ke Jawa Timur, basis utama NU, karena posisinya sebagai petinggi NU. Sejak itulah Hasyim sering bertemu Gus Dur dan bersahabat hingga puluhan tahun kemudian.
Hasyim mengaku sering dikomplain para kiai karena Gus Dur mengajar Islamologi di Yayasan Kristen GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) di Kota Malang. Sikap dan pemikiran Gus Dur memang sudah nyeleneh sedari muda. Ditambah saat itu dia baru menyelesaikan studi di Universitas Baghdad, Irak. Gus Dur sempat kuliah juga di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, pada 1963. Namun dia tak lulus.
Hasyim mulai memahami pemikiran Gus Dur dan pelan-pelan seolah menjadi juru bicara bagi cucu pendiri NU, Hasyim Asy'ari, itu. Dia mengklarifikasi setiap protes para kiai NU atas tindakan ataupun ucapan Gus Dur yang dianggap kontroversial.
Gagasan-gagasan kontroversial Gus Dur, di antaranya, mewacanakan ucapan "Assalamualaikum" diganti "Selamat pagi”, menganggap semua agama sama serta toleransi budaya yang sangat tinggi, dan lain-lain.
Saat Gus Dur mulai bersentuhan dengan politik pun Hasyim-lah yang paling sibuk dan dianggap otoritatif untuk menjelaskan. Begitu pula ketika Gus Dur menjabat Presiden pada 1999-2001.
"Posisi saya selama dua puluh tahun bersama-sama dan mendampingi beliau bertindak sebagai penjelas dari pikiran dan ucapan-ucapan Gus Dur yang sulit dipahami oleh masyarakat awam," kata Hasyim dikutip dari Alhikam.ac.id.
Pendekatan kemanusiaan
Sikap dan pemikiran besar Gus Dur, kata Hasyim, pada pokoknya berdasar pada filosofi religius, etika religi, kemanusiaan, dan budaya. "Sedikit saja Gus Dur menggunakan ilmu fikih sebagai bagian dari syariat, karena yang diketengahkan bukan legal-syariatnya," ujarnya. Sementara pemikiran sebagian besar kiai NU bertumpu sepenuhnya pada fikih atau hukum Islam.
Dalam pendekatan etika religi, Hasyim memaparkan, Gus Dur sangat egaliter menempatkan manusia dalam posisi setara, apapun agama yang dipeluknya. Hubungan etik itu menjadi sangat cair antara Gus Dur yang muslim dengan kalangan nonmuslim, bahkan yang ateis sekalipun.
Dalam hal pendekatan kemanusiaan, Gus Dur sangat mementingkan martabat dan kebutuhan asasi dari manusia. Sedangkan pandangan Gus Dur terhadap budaya dapat dikatakan sebagai wujud konkret dari filosofi, etika, dan kemanusiaan.
Perbedaan mendasar haluan pemikiran Gus Dur dengan sebagian besar kiai NU, bahkan sebagian besar muslim Indonesia, yang menyebabkan Gus Dur dianggap kontroversial. "Pastilah akan membuat mayoritas umat Islam di Indonesia menjadi kaget dan terheran-heran."
"Karena mainstream umat Islam di Indonesia bertumpu kepada masalah tauhid dan masalah fikih yang hitam-putih (halal versus haram). Apalagi buat mayoritas umat Islam di Indonesia yang suka bertengkar di bidang furu’, akan semakin sulit memahami pola pikiran Gus Dur," kata Hasyim.
Hasyim tak pernah lelah menjelaskan setiap langkah dan ucapan Gus Dur yang dianggap kontroversial kepada para kiai NU dan masyarakat. Kadang, katanya, penjelasan itu berhasil dan para kiai maupun warga NU mengerti. Namun kadang juga penjelasannya kurang berhasil dipahami.
"Pada umumnya nahdliyin (warga NU) mulai mengerti sekalipun kadang optimal dan kadang tidak optimal. Tetapi tetap saja masyarakat NU mencintai Gus Dur, bukan semata karena pemikirannya, tapi karena cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan putra sulung dari Wahid Hasyim," katanya. (ase)