KPK Cermati Munculnya Nama Luhut di Sidang Kasus Suap Pajak
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id – Nama Menteri Kordinator Kemaritiman, Luhut Pandjaitan muncul dalam fakta persidangan kasus suap penghapusan pajak PT E.K Prima Ekspor Indonesia dengan terdakwa Bos EKP, Ramapanicker Rajamohanan Nair.
Dalam persidangan, Luhut disebut-sebut sebagai orang yang pernah meminta membatalkan surat pencabutan dokumen pengusaha kena pajak (PKP) terhadap sejumlah perusahaan Jepang kepada Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, Muhammad Haniv.
Merespons fakta persidangan itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memastikan pihaknya akan mempelajari dan mencermati perkembangannya.
"Fakta-fakta persidangan kami cermati lebih lanjut dan relevansinya dengan proses penyidikan yang berjalan, untuk membangun konstruksi perkara ini agar lebih utuh," ujar Febri di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 14 Februari 2017.
Febri juga menegaskan, pihaknya tidak akan tinggal diam. Ketika ada nama dan rangkaian peristiwa baru yang muncul dalam persidangan, menurutnya KPK tentu akan bergerak dan mendalaminya. Bahkan membuka peluang melakukan pemeriksaan kepada yang bersangkutan.
"Apakah sebelumnya di penyidikan Rajamohanan ada, kami tidak dapat sampaikan secara rinci. Tapi informasi sudah disampaikan terbuka. Kami juga punya kewajiban untuk mencermati fakta persidangan," kata Febri.
Sebelumnya, di hadapan majelis hakim, Muhammad Haniv mengungkap nama Luhut Pandjaitan. Luhut dikatakannya pernah meminta supaya Ditjen Pajak membatalkan surat pencabutan pengusaha kena pajak terhadap sejumlah perusahaan Jepang.
Hal itu dikatakan Haniv, saat bersaksi untuk terdakwa Country Director PT EKP Rajamohanan Nair di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 13 Maret 2017.
Menurut Haniv, saat itu Luhut masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
"Saya dipanggil Pak Luhut. Jadi waktu itu dipanggil Pak dirjen, tapi saya yang dipanggil," kata Haniv.
Menurut Haniv, saat itu di Kantor Luhut ada Duta Besar Jepang dan beberapa wajib pajak perusahaan Jepang. Luhut meminta agar masalah pencabutan PKP sejumlah perusahaan Jepang dapat diatasi dengan segera. Haniv kemudian menyanggupi permintaan Luhut tersebut.
Haniv mengatakan, sebelumnya ia juga mendapat banyak keluhan dari pengusaha asal Jepang dan Korea, termasuk PT EKP soal pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pencabutan PKP itu dilakukan Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Enam Kalibata.
"Pak Luhut bilang, 'Ini Dubes Jepang sudah ke Presiden, Kau harus selesaikan ini. Sore ini bisa kau selesaikan?’" Kata Haniv.
Setelah pertemuan itu, Haniv kemudian menghubungi Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Tak lama kemudian, pencabutan PKP sejumlah perusahaan Jepang dilakukan.
"Saat itu, semua pengusaha Jepang datang ke saya, bilang terima kasih," kata Haniv.
Dalam kasus ini, Haniv diduga berkepentingan dalam pembatalan tagihan pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia sebesar Rp78 miliar. Haniv juga diduga memerintahkan Kepala KPP PMA Enam Johny Sirait untuk membatalkan pencabutan PKP PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Namun, saat jadi saksi dalam sidang, Haniv menjelaskan bahwa surat tagihan pajak (STP) sebesar Rp 78 miliar dan pencabutan PKP terhadap PT EKP dikeluarkan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.
Menyikapi keterangan itu, Luhut tidak membantahnya. Politisi senior Partai Golkar itu mengakui kalau ia yang meminta pihak pajak untuk membatalkan PKP terhadap perusahaan Jepang.
"Itu komplain perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Lantas waktu saya ke Jepang, bertemu Perdana Menterinya. Perdana Menteri Jepang menyampaikan komplain berat soal itu karena itu melanggar ketentuan dan tidak benar," kata Luhut di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 14 Maret 2017. [Selengkapnya baca: Luhut Tak Merasa Diseret]