- VIVA.co.id/ Danar Dono
VIVA.co.id – Gapura itu berdiri kokoh di tepi Jalan Cilincing Raya, Koja, Jakarta Utara. Bertuliskan Gubah Al Haddad, gerbang setinggi sekitar 10 meter tersebut menjadi tanda pembatas kompleks Makam Mbah Priok. Memasuki kawasan itu, tampak lahan parkir membentang luas dan sejumlah bangunan.
Di antara bangunan itu, ada sebuah bangunan utama berukuran sekitar 5x5 meter di sana. Dalam ruangan itu, tampak sejumlah makam berlapis marmer. Kain berwarna hitam dipadu krem menutupi bagian atasnya. Makam itu dikenal sebagai makam Mbah Priok.
Kompleks makam tersebut kerap dikunjungi para peziarah. Mereka datang tak hanya dari Jakarta tapi juga dari berbagai daerah di Tanah Air. Marsiun, misalnya. Wanita 49 tahun asal Balikpapan, Kalimantan Timur itu sengaja datang bersama rombongan ziarah. Kompleks makam ini cukup sohor di Balikpapan.
Tiba di lokasi, Kamis, 9 Maret 2017, dia sangat terkesan. Suasana nyaman dan panas tak terlalu menyengat, meski di luar area cuaca tengah panas terik. Ini membuatnya kerasan dan tidak lagi penasaran. “Jadi rasa penasaran kami terbayarkan dengan ziarah ke makam Mbah Priok,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 9 Maret 2017.
Kompleks makam Mbah Priok kini ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Tanggal 16 Februari 2017, Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta tentang penetapan Makam Mbah Priok di Jakarta Utara menjadi kawasan cagar budaya telah diterbitkan. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menyerahkan langsung SK itu kepada Habib Abdullah Sting Alaydrus, pengelola makam Mbah Priok sekaligus ahli waris Al-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad.
Ahok, sapaan akrab Basuki, melihat potensi kawasan makam dijadikan objek wisata religi. Hal itu karena banyak peziarah datang ke sana. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Diperkirakan, 10 ribu hingga 15 ribu peziarah datang per minggu. Mereka berasal dari dalam dan luar negeri.
Namun, Ahok menilai kondisi kawasan itu berantakan. Sejumlah permasalahan yang terjadi di sana, seperti soal kepemilikan lahan, juga dianggap menghambat upaya untuk mengoptimalkan potensi tersebut.
Lantaran itu, dia akan membuat status kepemilikan lahan seluas 3,4 hektare tersebut menjadi semakin tegas ada di pihak jemaah. Dengan penerbitan SK cagar budaya itu, Makam Mbah Priok tak bisa diganggu pihak mana pun. Makam itu tidak bisa digusur sembarangan apalagi disengketakan. "Mbah Priok sebagai situs cagar budaya, jadi dilindungi Undang-undang Nomor 9 tahun 2007," ujar Ahok.
Mantan Bupati Belitung Timur itu menampik pendapat sejumlah pihak bahwa penetapan makam Habib Hasan bin Muhammad Al Hadad itu sarat muatan politis. Saat mengeluarkan SK, calon gubernur DKI Jakarta petahana ini bukan sengaja untuk mengakomodasi kalangan tertentu untuk memilihnya di Pilkada DKI 2017 putaran dua. Hal itu lantaran kajian tersebut sudah ada sejak lama, dengan mempertimbangkan keinginan pihak keluarga dan harapan makam tersebut bisa dilestarikan.
"Makanya saya (dibilang) bermuatan politik, saya yang datang (ke) mereka atau mereka datangin saya. Kalau bermuatan politik berarti saya berusaha mendekati Mbah Priok. Berani enggak saya datang. Enggak berani," kata Ahok, usai mengunjungi kantor redaksi VIVA.co.id, Jakarta, Jumat, 10 Maret 2017.
Langkah Ahok mengeluarkan SK tersebut disambut positif pihak pengelola makam. Sebab, sudah sejak tahun 1988, pengelola mengajukan lokasi tersebut sebagai cagar budaya. “Kami bersyukur Pak Ahok mau meresmikan ini sebagai cagar budaya,” ujar Adim, pengurus makam Mbah Priok.
Dia berharap penetapan makam Mbah Priok sebagai cagar budaya akan membuat lokasi ini semakin dikenal dan tetap ramai peziarah. Dugaan penetapan itu terkait dengan politik pun ditampiknya. “Yang jelas di sini enggak ikut-ikutan politik,” kata Adim.
Di sisi lain, penetapan kompleks Makam Mbah Priok sebagai cagar budaya dinilai tak tepat. Sebagai warga Betawi, kata Ridwan Saidi, keberadaan tempat itu membuatnya bangga. Sebab, lokasi itu salah satu tempat yang memiliki nilai sejarah.
Namun, menurut budayawan Betawi itu kompleks tersebut merupakan cagar sejarah, bukan dijadikan cagar budaya. Jika cagar sejarah, pemerintah wajib melindungi, tapi tidak mengambil alih. “Tapi kalau cagar budaya itu istilah saya itu malah justru tempat itu ‘dikangkangin’,” ujar Ridwan.
Istilah tersebut dia lontarkan lantaran ketika pemerintah daerah menetapkan suatu tempat menjadi status cagar budaya, otomatis pengelolaan, penjagaan tempat itu diambil alih oleh pemerintah daerah. Adapun cagar sejarah, pemerintah cukup melindungi, sementara tempat dibiarkan seperti apa adanya dan masyarakat yang menjaganya.
Secara empirik Ridwan menilai penetapan Makam Mbah Priok sebagai cagar budaya lebih banyak negatif ketimbang positifnya. Sebab, jika sudah dijadikan cagar budaya, diduga akan menjadi objekan oknum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, rakyat bisa terjauh dari tempat tersebut.
Dia menyarankan SK Gubernur itu dicabut. Surat itu dinilai hanya akan menambah persoalan baru. “Enggak ada gunanya juga sebenarnya SK itu, toh itu sudah menjadi cagar sejarah, biarkan saja masyarakat yang menjaga dan merawatnya,” kata Ridwan.
Selanjutnya, SK Sementara
SK Sementara
Rencana penetapan cagar budaya itu telah lama ada. Awalnya, merujuk pada Keputusan Gubernur Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Benda Cagar Budaya, terdapat 139 bangunan cagar budaya.
Keputusan gubernur itu lantas hendak direvisi. Sebab, banyak bangunan-bangunan lain yang sudah layak menjadi cagar budaya, namun belum ditetapkan. Meski belum ditetapkan, bangunan tersebut harus dilindungi lantaran sejarahnya ataupun bentuk arsitekturnya yang unik.
Lantaran itu, sejak 2016, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI melakukan identifikasi dan inventarisasi. Ternyata ada 662 lokasi yang ditenggarai sebagai cagar budaya. “Dari 662, sudah kami inventarisasi 97 lokasi. Berarti 98 dengan yang ini (makam Mbah Priok),” ujar Nelita, Konservator Unit Pengelola Pusat Konservasi Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI.
Penetapan Makam Mbah Priok sebagai cagar budaya berlandaskan pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta tetap melakukan kajian soal “Penetapan Kawasan Makam Habib Hasan Bin Muhammad Al-Haddad (Makam Mbah Priok) Sebagai Lokasi Yang Dilindungi dan Diperlakukan Sebagai Situs Cagar Budaya" tersebut. “Kami enggak asal menetapkan tanpa dasar,” kata Nelita.
SK gubernur DKI soal Mbah Priok itu dinilai sebagai terobosan baru. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Sebab, menurut Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Jhohanes Marbun, SK itu bukan SK penetapan suatu situs sebagai cagar budaya. Sifat dari SK itu masih sementara agar ada kepastian hukum selama proses pengkajian dilakukan.
SK ini masih temporer, sampai ada kajian final yang menyatakan tempat itu layak mendapatkan rekomendasi untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. “Kalau nanti rekomendasi dari tim ahli itu bukan sebagai cagar budaya, SK itu harus dicabut lagi oleh gubernur DKI,” kata Marbun.
Proses penetapan suatu cagar budaya ini diawali dari pendaftaran objek. Kemudian dilakukan kajian. Dalam salah satu klausul UU Nomor 11 Tahun 2010 itu disebutkan, ketika masih dalam tahap kajian sampai dikeluarkannya rekomendasi dari tim kajian atau penelitian, suatu objek yang dilindungi atau diperlakukan sebagai cagar budaya itu statusnya harus dilindungi seperti halnya cagar budaya.
Status itu sangat penting agar selama proses kajian ada jaminan, situs ini tidak diganggu gugat pihak-pihak yang ingin merusaknya. Dia lantas mencontohkan kasus Bioskop Banteng Hebe di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Ketika itu, bioskop tersebut sudah ada registrasi pendaftarannya dan sudah dikaji tapi belum ditetapkan sebagai cagar budaya oleh menteri.
Dalam konteks UU Cagar Budaya, bangunan itu baru mempunyai kekuatan hukum tetap kalau sudah dikeluarkan keputusan oleh pemegang wewenang dalam hal ini kementerian kebudayaan. Lantaran belum ada keputusan tersebut, Bioskop Benteng Hebe itu akhirnya dihancurkan pada 2010.
Selanjutnya, Tragedi Koja
Tragedi Koja
Peristiwa berdarah pernah menerpa kompleks Makam Mbah Priok. Pada 14 April 2010, rencana eksekusi pendopo makam yang diklaim milik PT Pelindo II berakhir rusuh.
Insiden itu menyebabkan tiga anggota Satpol PP meninggal, setidaknya 231 korban luka terdiri dari 112 personel Satpol PP, 26 personel Polri dan 90 orang warga. Selain itu, 84 kendaraan dibakar massa.
Mediasi pun dilakukan untuk mendamaikan pihak-pihak terkait. Dalam rapat mediasi di Balai Kota Jakarta, Kamis, 15 April 2010, Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq selaku salah satu penengah pertikaian lahan makam Mbah Priok, menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.
Di antaranya, agar Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo segera menerbitkan SK untuk menjadikan seluruh lahan di komplek makam Mbah Priok sebagai cagar budaya. “Sehingga setelah itu semua jadi cagar budaya, nanti akan menjadi milik umat Islam, bukan lagi milik PT Pelindo dan ahli waris,” kata Rizieq.
Sehari kemudian, mediasi kembali digelar antara PT Pelindo II dan ahli waris Habib Hassan bin Muhammad Al Haddad beserta tim. Mediasi difasilitasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hasil mediasi itu di antaranya usulan rancangan masterplan akan dibuat Pelindo paling lambat selesai 2 pekan atau 30 April 2010.
Kini, masalah lahan kepemilikan lahan kompleks yang letaknya dikelilingi Pelabuhan Tanjung Priok itu dinilai telah selesai. Pelindo, menurut Ahok, saat ini telah melingkupi kompleks makam dengan tembok yang dibuatnya. Dengan demikian, perbedaan kepemilikan lahan saat ini telah jelas terlihat. Ahok pun berjanji menyelesaikan masalah kepemilikan lahan itu.
Menurut Eko Iswandi, salah satu pengurus Majelis Gubah Al Haddad, Ahok telah menepati janjinya. Secara legal, kompleks makam tersebut saat ini telah sepenuhnya dimiliki jemaah. "Sudah enggak masalah. Makam tersebut sudah milik (jemaah) Mbah Priok. Tidak ada masalah dengan yang lain," ujar Eko, Selasa, 14 Februari 2017.
Selanjutnya, Jejak Kompleks Makam
Jejak Kompleks Makam
Kompleks Makam Mbah Priok menempati lahan seluas 3,4 hektare. Suasana di kompleks makam ini terbilang lega. Atap bangunan dibuat tinggi sehingga hawa panas dapat berkurang.
Tempat parkir juga tersedia cukup luas. Di area parkir, banyak warung berdiri untuk melayani para pengunjung. Memasuki ruangan besar pertama, terdapat area salat yang dibagi dua untuk wanita dan pria. Ada pula kolam air sumur yang diyakini suci. Air ini bebas untuk diminum dan dibawa pulang namun tak boleh digunakan untuk berwudu.
Memasuki area Inti, terdapat sebuah ruangan besar. Di dalamnya terdapat makam yang disebut makam Mbah Priok dan beberapa keturunan langsungnya. Peziarah bisa langsung masuk ke dalam ruangan itu pada saat-saat tertentu, yaitu Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan haul.
Saat ini, bangunan kompleks makam Mbah Priok masih dalam pengembangan dan renovasi. Pihak pengurus mengaku masih menunggu konsep gambar untuk pengembangan lanjutan. (VIVA.co.id/Danar Dono)
Cikal bakal kompleks makam itu, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, berawal dari daerah Koja yang sekarang disebut Tanjung Priok. Mulanya daerah itu adalah wilayah Kerajaan Tiram. Dalam prasasti Kanjuruhan di dekat Malang, Jawa Timur disebutkan, raja memerintahkan salah satu orang kepercayaannya untuk pergi ke daerah Tiram. Hal itu karena salah satu penghasilan Kanjuruhan ketika itu adalah membuat bejana. Sementara daerah Tiram itu memiliki potensi untuk dibuat gerabah atau bejana.
Setelah orang suruhan raja Kanjuruhan itu berhasil membangun industri gerabah di Tiram, kemudian lahir power system. Dari power system itu terbentuk sebuah kerajaan, di mana raja-rajanya disebut dengan nomenklatur Dewan Negara. Priok menjadi salah satu Dewan Negara. Orang Betawi memanggil Dewan Negara Priok itu dengan panggilan Baba atau Baba Priok.
Baba Priok lantas membangun tempat pemakaman di daerah Koja. Lambat laun, lokasi ini mulai ramai didatangi pendatang dari Jawa. Pendatang-pendatang itu menyebut lokasi tersebut sebagai pemakaman Mbah Priok. “Dari situlah tempat itu disebut sebagai Makam Mbah Priok,” ujar Ridwan.
Tempat pemakaman Baba Priok itu lama kelamaan menjadi tempat pemakaman umum. Sebab, pada 1788 kerajaan itu sudah tidak ada lagi.
Baca Juga:
Cagar Budaya, Kriteria dan Cara Penetapannya