Takut Gaduh, Alasan Sidang e-KTP Dilarang Live di TV
- Foe Peace
VIVA.co.id – Melihat dampak dari proses persidangan perkara pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso yang disiarkan secara langsung sejak awal persidangan hingga akhir persidangan, membuat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk melarang sidang perkara dugaan korupsi e-KTP disiarkan secara langsung.
"Persidangan atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso beberapa waktu lalu telah dilakukan evaluasi oleh PN Pusat bahwa dari hasil evaluasi tersebut PN Jakpus memandang pelaksanaan sidang secara langsung atau live telah banyak menimbulkan kegaduhan di ruang sidang," kata Humas Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Yohanes Priana, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis 9 Maret 2017.
Ia menjelaskan bahwa keputusan itu tertuang dalam keputusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1 Agustus nomor B 10 U 1/KP.0111750S XI 2016 01 tentang larangan peliputan dan penyiaran persidangan secara langsung atau live oleh media televisi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain menimbulkan kegaduahan di ruang sidang, juga berakibat pada timbulnya kegaduhan di masyarakat.
"Maupun di media sosial lainnya serta opini publik yang saling bertentangan sehingga pengadilan berpendapat lebih banyak mudaratnya atau keburukannya daripada manfaatnya. Bahwa persidangan terbuka untuk umum haruslah ditafsirkan terbuka sebatas ruang sidang yang dapat dilihat masyarakat umum dalam persidangan," katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa secara yuridis penyiaran secara langsung atau live oleh media televisi tersebut juga berpotensi melanggar ketetuan KUHAP. Seperti diatur lebih lanjut dengan surat edaran Menteri Kehakiman Nomor M 06-UM.01.06 Tahun 1983, tentang Tata Tertib Persidangan yang telah menentukan bahwa pengambilan foto, perekaman suara dan televisi harus meminta izin hakim ketua sidang
"Berdasarkan ketentuan ini hakim ketua majelis dapat memperbolehkan atau melarang serta menghentikan penyiran secara langsung persidangan yang dipimpinnya," ujarnya.Â
Ia menegaskan kalau larangan tersebut bukan karena adanya permintaan dari pihak-pihak tertentu yang tersangkut kasus itu. Dirinya menampik hal tersebut. Terakhir, ia menjelaskan kalau peliputan dan penyiaran secara langsung atau live oleh media televisi terhadap pelaksanaan persidangan tersebut juga tidak baik dilakukan karena publik seolah-olah disuguhi pemberiataan tidak baik tentang suatu kejahatan yang dimungkinkan dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat.
"Bahwa secara filosofi independen hakim harus terjaga dengan baik sebagai suatu syarat negara hukum. Penyiaran langsung atau live oleh media televisi dapat membentuk opoini publik sebelum ada ketususan pengadilan. Opini bulik juga berpotensi mengganggu independensi hakim karena bisa saja hakim terkontaminasi oleh opini publik tersebut," katanya. (ren)