Terdakwa Kasus e-KTP Diduga Memperkaya Diri dan Orang Lain
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menggelar sidang perdana dugaan kasus proyek elektronik kartu tanda penduduk (e-KTP). Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putrie membacakan berkas dakwaan untuk dua terdakwa dalam dugaan kasus yang merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun.
Dua terdakwa dalam kasus ini yaitu mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman sebagai terdakwa I. Kemudian, terdakwa dua yakni mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Dukcapil Sugiharto.
Dalam berkas dakwaan yang dibacakan, dua terdakwa diduga melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses penganggaran dan pengadaan barang jasa proyek pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Menurut jaksa, para terdakwa diduga mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.
Kedua terdakwa yang merupakan pejabat eselon I di lembaga kementerian negara, juga dianggap melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya para terdakwa dan memperkaya orang lain," kata Jaksa Irene di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.
Kedua terdakwa disebut juga memperkaya sejumlah nama seperti mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, Ketua Panitia Pengadaan Barangjasa di Ditjen Dukcapil tahun 2013 Drajat Wisnu Setyawan, beserta enam anggota panitia pengadaan dan lima anggota tim teknis.
Sejumlah nama yang diduga menerima aliran dana dibacakan seperti mantan Ketua DPR Marzuki Ali serta anggota DPR yang pernah dan masih duduk di Komisi II DPR seperti Taufik Effendi, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam Haryani, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramen, Jamal Aziz, Markus Nari, dan Yasona Laoly.
Selain itu, disebut juga anggota dan badan anggaran DPR yang diduga menerima seperti Olly Donkokambey, Melchias Marchus Mekeng, Miran Amir, dan Tamsil Lindrung.
"Dan 37 anggota Komisi II DPR lainnya serta memperkaya korporasi yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara republik Indonesia (Perum PNRI), PT Len Industri, PT Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo, manajemen bersama konsorsium PNRI yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2.314.904.234.275,39," ungkap Jaksa Irene.
Dalam dugaan perkara ini, sidang dipimpin Hakim John Halasan Butar Butar dengan anggotanya hakim Franki Tambuwun, hakim Emilia, hakim Anshori dan hakim Anwar.
Seperti diberitakan sebelumnya, KPK menduga uang suap puluhan miliar sudah mengalir ke sejumlah anggota DPR RI sebelum anggaran proyek e-KTP mengucur. Uang-uang pelicin itu diduga dibagikan calon pemegang proyek.
"Jadi kami menemukan juga indikasi yang disebut dengan praktik ijon (pelicin untuk memuluskan anggaran proyek e-KTP)," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa 7 Maret 2017.
Menurut Febri, pihaknya menemukan indikasi pertemuan-pertemuan informal sebelum rapat pembahasan anggaran dilakukan. Setelah itu, dilakukan pembahasan anggaran yang melibatkan anggota Komisi II DPR, Badan Anggaran DPR dan unsur pemerintah, yakni Kementerian Dalam Negeri.
Dalam penyidikan, KPK juga meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung dugaan kerugian negara. Hasilnya, audit itu menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun.