Polisi Selidiki Perusahaan Terduga Mafia Cabai Rawit
- ANTARA/Budiyanto
VIVA.co.id – Polisi tak menutup kemungkinan ada perusahaan yang ikut bermain dalam kasus monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan tindak pidana perdagangan cabai rawit merah.
Kasubdit Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Hengki Hariyadi, mengungkapkan sejauh ini Polri mendeteksi ada enam perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
"Sementara ada sekitar enam perusahaan. Untuk lebih jelasnya belum bisa kami sampaikan dulu," ucap dia di Kantor Dirtipideksus Mabes Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat 3 Maret 2017.
Dia mengatakan, enam perusahaan yang dimaksud beberapa di antaranya ada yang berlokasi di DKI Jakarta, namun ada pula perusahaan yang berlokasi di luar Jakarta.
"Di Jakarta, ada beberapa tempat. Jakarta dan sekitarnya," katanya.
Perusahaan-perusahaan itu sebenarnya terbiasa mengimpor cabai dari luar negeri. Mereka membeli cabai rawit merah dari pengepul lantaran cabai yang biasa mereka impor belakangan kualitasnya kurang baik.
"Yang biasanya mereka (perusahaan) impor, mereka tidak puas yang impor ini karena ada baunya langu sehingga mereka mengambil cabai yang ada di petani Indonesia. Ibarat vacum cleaner ini larinya ke sini semua," katanya.
Meski begitu, guna membuktikan apakah benar ada keterlibatan perusahaan dalam kasus tersebut, Polri masih terus memeriksa lebih lanjut. Apabila benar terbukti, maka perusahaan itu terancam akan terkena sanksi pidana atas perbuatan tersebut.
"Kita tidak bisa asal nuduh, nanti alat bukti enggak ada kita kalah, jadi kita proses dulu," tutur Hengki.
Sebelumnya diberitakan, polisi membongkar praktik curang atas mahalnya harga cabai rawit merah di pasaran. Sebanyak dua orang tersangka yakni SJN dan SNO yang merupakan pengepul cabai rawit merah ditangkap Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri, atas perbuatan curangnya itu di kawasan Jawa Timur.
Puluhan ton cabai rawit merah yang harusnya didistribusikan ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, malah dijual ke perusahaan-perusahaan dengan harga Rp181.000.
"Berdasar penyidikan 50 ton harus ke Pasar Induk, 80 persen berkurang, lari ke beberapa perusahaan," tutur Hengki. (ren)