Munculnya Aksi Bela Islam Versi Muhammadiyah
- VIVA.co.id/twitter@DPP_FPI
VIVA.co.id – Umat Islam beberapa kali melakukan aksi damai yang berpusat di Ibu Kota. Aksi itu dampak dari pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Pernyataan Ahok itu kemudian dituding sebagai penistaan agama.
Aksi yang dimulai pada 14 Oktober 2016 tersebut terus berlanjut sebagai upaya umat Islam mengawal proses hukum, dari permintaan proses hukum hingga tuntutan penahanan Ahok.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengungkapkan, rangkaian aksi yang dikenal dengan aksi bela Islam timbul karena beberapa faktor. Di antaranya yaitu umat Islam merasa terpinggirkan di dunia yang semakin terbuka ini.
"Dulu tidak ada tim pengacara muslim, sekarang ada dan itu ada perasaan umat ini perlu dibela karena mereka merasa sebagai mayoritas tidak mendapat tempat sebagaimana yang mereka inginkan," kata Mu'ti di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 28 Februari 2017.
Faktor lainnya adalah, aksi bela Islam terjadi lantaran hukum terkesan tidak ditegakkan dengan seadil-adilnya. Dengan demikian muncul kekecewaan terhadap aparatur penegak hukum. Menurutnya aparat saat ini terlalu represif dalam menyikapi suatu hal.
"Di Indonesia kalau aparat terlalu represif, itu perlawanan semakin ekspresif dan itu yang terjadi," ujarnya.
Selanjutnya, sekelompok orang yang melakukan aksi damai tidak memiliki alternatif untuk membela agamanya. Sehingga aksi unjuk rasa pun tak bisa dihindari. Tak hanya itu, gerakan itu timbul lantaran partai-partai bernapaskan Islam tak aspiratif terhadap apa yang menjadi kehendak para kelompok tersebut.
"Karena tidak ada yang mendengarkan aspirasinya, maka mereka berjuang dengan caranya sendiri. Kalau kita melihat kekerasan, aksi demonstrasi atau bentuk radikalisme itu muncul karena ketidakadilan, muncul ketika orang itu dalam ancaman," ungkap dia.
Mu'ti meminta sejumlah aksi bela Islam yang terjadi ini tak perlu dikhawatirkan. Menurut dia, aksi bela Islam merupakan bagian realitas yang harus dihadapi. "Indonesia ke depan harus didorong menjadi Indonesia yang menghormati kebhinekaan, tapi tentu menerima itu tidak selalu bernama konvergensi," katanya. (ase)
Â