Kasus Suap, PT EKP Disebut Tak Punya Masalah Pajak
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA.co.id - Penasihat Hukum terdakwa kasus suap pajak, Ramapanicker Rajamohanan Nair, Samsul Huda, menilai PT EK Prima Ekspor Indonesia tidak memiliki permasalahan pajak sebelumnya. Masalah itu baru mucul ketika Rajamohan mengajukan restitusi atau pembayaran kembali pajak garmen sebesar Rp3,5 miliar.
"Jadi baru timbul masalah ketika EKP mengajukan restitusi pajak garmen. Perusahaan yang berani ajukan restitusi itu berarti perusahaan yang kredibel pajaknya," kata Samsul di kantor KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 28 Februari 2017.
Setelah mengajukan restitusi, klaim Samsul, barulah tim pemeriksa terjun langsung ke lapangan dan pabrik PT EKP. Menurut Samsul, saat itu hasil laporan tim pemeriksa menegaskan,a permohonan restitusi dapat disetujui namun ada konversi terhadap pajak kurang bayar sebesar Rp600 juta.
"Nah, berdasarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Laporan Hasil Pemeriksaan (SPHP LHP) tanggal 8 Agustus 2016, disetujui (restitusi cair) Rp2,8 miliar. Tetapi setelah SPHP LHP disetujui dan dikirimkan ke EKP untuk mendapatkan tanggapan, tiba-tiba Kepala KPP 6 PMA Kalibata menganulir sendiri keputusannya dan berdalih tidak dapat meyakini transaksi EKP dan menduga ada ekspor fiktif," kata Samsul.
Samsul menilai keputusan dan pernyataan Kepala Kantor Pelayanan Pajak 6 Penanaman Modal Asing, Johnny Sirait, tersebut sarat kecurangan. Apalagi, keputusan itu diambil mendadak tanpa pengecekan dan pemeriksaan lagi.
"Itu hanya asumsi semata, malah tiba-tiba PT. EKP dikenai surat tagihan pajak Surat Teguran Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN) Ekspor Kacang Mete sebesar 78 miliar yang tidak berdasarkan fakta dan aturan yang benar. Hanya berdasar asumsi atau dugaan Kepala KPP 6 PMA Kalibata, Johny Sirait, bukan atas hasil temuan tim pemeriksa," kata Samsul.
Samsul menambahkan bahwa dalam persidangan, Senin, 27 Februari 2017 kemarin, melalui keterangan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa KPK, ternyata mucnulnya keputusan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai EKP merupakan upaya Ditjen Pajak mencapai target pajak dan memaksakan STP PPN Rp78 miliar dimasukkan dalam tax amnesty EKP.
"Ini yang menyebabkan EKP menjadi keberatan. Alih-alih keberatan ditanggapi, KPP 6 malah kemudian mencabut status Perusahaan Kena Pajak (PKP) EKP dan dipaksakan usulan Bukper (bukti permulaan) tanpa didahulu proses IDLP (Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan) yang benar," kata Samsul.
Dugaan ada ekspor fiktif dan penyalahgunaan kelompok lapangan usaha, Samsul menyatakan juga sudah terbantahkan di persidangan. Menurutnya, bila ada dugaan tersebut, EKP siap dan meminta agar pemeriksaan menyeluruh terhadap semua transaksi, faktur pajak, maupun PEB ekspor barang di Bea Cukai.
"Justru dengan perlakuan yang bertubi-tubi tersebut, EKP langsung mencari keadilan dengan menolak STP (Surat Tagihan Pajak), mohon pembatalan pencabutan status PKP, dan Usulan Bukper itu dengan mengajukan keberatan ke Kanwil dan Ditjen Pajak tembusan Menteri Keuangan," kata Samsul.
Menurut Samsul, keberatan akhirnya dikabulkan Kanwil Pajak karena STP PPN yang diterbitkan KPP 6 Kalibata atas transaksi komoditas kacang mete dari penjual non PKP itu memang tak boleh dikenakan PPN. Selain itu, dikabulkan pula pembatalan pencabutan status PKP EKP.
"Jadi PT EKP sangat taat aturan pajak sejak awal dan clear secara perpajakan. Namun dalam kasus ini memang ada pemberian uang ke Handang Soekarno (pemeriksa pajak) memang benar, tapi itu karena klien kami diminta terus," kata Samsul.
Sebelumnya, dalam persidangan, Johnny Sirait mengakui pernah mendapatkan cacian dari Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv. Kata-kata kasar itu dilakukan berkaitan dengan PT. EK Prima Ekspor Indonesia.
"Begitu ketemu, langsung dibentak-bentak saya. Saya ditanya, kenapa pencabutan PKP untuk PT EKP belum dibatalkan," kata Johnny saat bersaksi untuk terdakwa Rajamohan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Selatan Senin 27 Februari 2017.
Menurut Johnny, ketika itu Haniv menginstruksikan agar surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terhadap PT. EKP dibatalkan. Tapi dia mengklaim, permintaan pembatalan itu tak disertai alasan yang jelas.
Perkataan Haniv dengan kasar tersebut bahkan sempat membuat Johnny malu. Karena kata-kata kasar tersebut dilontarkan Haniv di depan pegawai KPP PMA Enam. Tapi, menurut Johnny, ia tak dapat membantah, dan hanya bisa menuruti perintah Haniv yang memiliki jabatan lebih tinggi.
"Dia (Haniv) dulu teman saya satu angkatan. Tapi sudah hancurlah, tidak ada lagi wibawa saya di depan anak buah saya," kata Johnny.
PT EKP awalnya menghadapi beberapa persoalan pajak. Salah satunya, terkait restitusi pajak periode Januari 2012-Desember 2014 sebesar Rp3,5 miliar. Permohonan atas restitusi itu kemudian diajukan pada 26 Agustus 2015 ke KPP PMA Enam.
Namun, permohonan restitusi tersebut ditolak, karena EKP ternyata memiliki tunggakan pajak sebagaimana tercantum dalam STP PPN tanggal 6 September 2016. Tunggakan tersebut sebesar Rp52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.
KPP PMA Enam juga mengeluarkan surat Pencabutan Pengukuhan Perusahaan Kena Pajak PT. EKP. Alasannya, PT. EKP diduga tidak menggunakan PKP sesuai ketentuan, sehingga terindikasi restitusi diajukan tidak sebagaimana semestinya.
Dalam kasus ini, Rajamohan yang merupakan Country Director PT. EK Prima Ekspor Indonesia, didakwa menyuap penyidik PNS pada Ditjen Pajak, Kemenkeu, Handang Soekarno, sebesar Rp1,9 miliar. Suap awalnya dijanjikan Rp6 miliar agar Handang membantu menyelesaikan pajak PT EKP.
Dalam surat dakwaan jaksa KPK, Haniv disebut-sebut ikut berperan menghapus pajak PT EKP sebesar Rp78 miliar. Janji pemberian suap Rp6 miliar kepada Handang, salah satunya juga ditujukan kepada Haniv. Tak hanya Haniv, pada perkara sama, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi dan ipar Presiden Joko Widodo, Arif Budi Sulistyo, juga muncul dalam dakwaan Rajamohan.