Campak 'Hantui' Orang Rimba Jambi

anak rimba di Jambi
Sumber :
  • ramond EPU/Jambi/VIVA.co.id

VIVA.co.id – Sudah 47 Orang Rimba Jambi dinyatakan positif campak. Sebanyak 26 orang masih dirawat hingga hari ini, Sabtu 25 Februari 2017 di sejumlah rumah sakit di Jambi.

Nadiem Cerita Pengalaman Tak Terlupakan Nginap Bersama Suku Anak Dalam

Mereka tersebar di Rumah Sakit (RS) Haji Abdul Madjid Batoe, Muarabulian sebanyak 17 pasien, di Rumah Sakit (RS) Chatib Quswain Sarolangun  8 pasien dan di Rumah Sakit (RS) Raden Mattaher ada satu pasien.

Sejak awal Februari ini, Orang Rimba terus berdatangan ke rumah sakit akibat wabah campak yang menyerang kelompok Orang Rimba Terap dan Sepintun. Sampai saat ini tercatat total yang sudah 47 pasien yang terkena campak.

Abdullah, Anak Rimba Pertama yang Hafiz Alquran

“Kami masih terus mengupayakan pengobatan dengan mengevakuasi yang sakit ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Sedangkan yang di dalam hutan jika masih ada yang demam masih terus diupayakan pengobatan dhulu. Jika tidak ada kemajuan kita upayakan untuk dibawa keluar menuju rumah sakit,” kata Rusli Efendi, Fasilitator Kesehatan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Sabtu 25 Februari 2017.

Dikatakannya, kondisi Orang Rimba saat ini cukup memprihatinkan sejak serangan wabah campak awal bulan ini. Kondisi cuaca hujan menyebabkan untuk akses dan mobilitas Orang Rimba lumayan sulit untuk menuju ke rumah sakit.

Respon PDIP Soal Hasto Kristiyanto Dijerat Pasal Rintangi Penyidikan di Kasus Harun Masiku

“Campak, merupakan penyakit yang menakutkan bagi Orang Rimba karena ini mewabah. Bisa menular ke anggota kelompok dengan sangat cepat,” kata Rusli.

Bahkan lanjut Rusli, jika tidak ditangani dengan baik, maka bisa berakibat kematian. Untungnya sekarang kesadaran mereka untuk berobat medis sudah lumayan baik, sehingga mau dibawa ke rumah sakit. Hanya saja yang menjadi kendala biaya hidup keluarga yang menemani Orang Rimba selama dirawat.

“Kalau ada satu anggota keluarga yang sakit biasanya akan ada dua atau tiga orang yang  ikut serta. Jika dirawat selama satu minggu saja, butuh biaya yang sangat besar untuk mereka selama di luar,” kata Rusli.

Tanggulangi penyakit menular

Sementara itu, Antropolog WARSI, Robert Aritonang menyebutkan, Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan dengan segala perubahan lingkungan. Dengan pola hidup semi nomadik dan kondisi cuaca serta sumber pasokan pangan yang tidak menentu, menyebabkan Orang Rimba sangat rawan terkena penyakit.

Dengan pola hidup berkelompok maka penularan penyakit juga berlangsung sangat cepat. “Inilah yang menyebabkan Orang Rimba bisa sakit dalam jumlah banyak dan memerlukan bantuan medis dari kita semua,” kata Robert.

Menyikapi kondisi ini, menurut Robert, yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan layanan imunisasi ke seluruh kelompok Orang Rimba secara berkala.

Untuk diketahui, tahun 2016, Lembaga Molekuler Eijkman melakukan studi pada Orang Rimba terhadap hepatitis dan malaria. Hasilnya kedua penyakit ini sangat tinggi prevalensinya pada orang Rimba, hepatitis mencapai 33,9 persen sedangkan malaria 24 persen.

“Waktu itu karena keterbatasan dana yang diteliti adalah hepatitis dan malaria saja. Namun dengan ada muncul kasus campak sekarang, kemungkinan penyakit menular lainnya masih banyak diderita oleh Orang Rimba," katanya.

Untuk itu menurutnya, diharapkan pemerintah mau turun tangan langsung melakukan pengambilan sampel darah pada Orang Rimba untuk menentukan langkah-langkah penanganan yang tepat dan sesuai dengan Orang Rimba.

Namun untuk jangka pendek, harapan Robert, imunisasi dasar bisa langsung diberikan kepada Orang Rimba oleh puskesmas terdekat. “Sebenarnya dengan kondisi sekarang yang semakin terbuka, akses pada Orang Rimba sudah semakin dekat. Paling jauh pun kelompoknya bisa dijangkau dengan berjalan kaki paling lama enam jam. Jika ada niat dan itikad baik dari semua pihak, kami yakin penanganan kepada Orang Rimba bisa dilakukan,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya