KPK Tak Ragu Lagi Jerat Korupsi Korporasi

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Sumber :
  • ANTARA/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) intens melakukan komunikasi dengan Mahkamah Agung terkait Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Seperti hari ini, pihak lembaga antikorupsi itu berdiskusi dengan Hakim Agung Surya Jaya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, langkah ini dilakukan KPK supaya bisa maksimal menerapkan peraturan MA dalam pemberantasan korupsi. Terlebih pada perkara-perkara besar yang melibatkan korporasi.

"Diskusi ini agar ke depan memang penerapan Perma ini benar-benar bisa maksimal diterapkan penegak hukum, jadi tidak ada lagi perbedaan pendapat soal teknis apakah bisa atau tidak dan bagaimana proses pembuktiannya dan lain-lain terkait hukum acara setelah Perma ini ada," kata Febri di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis 23 Februari 2017.

Selain itu, kata Febri, fokus diskusi dengan Hakim Surya Jaya hari ini juga menyentuh persoalan pidana denda dan penerapan sistem pencegahan korupsi di internal perusahaan-perusahaan skala besar.

"Kenapa itu penting? Karena di Perma korporasi itu diatur bahwa salah satu bentuk kesalahan korporasi adalah jika tidak membentuk lingkungan pencegahan di korporasi," ujar Febri.

MA sebelumnya telah menerbitkan Perma Korporasi pada akhir tahun lalu. Dengan Perma ini, MA meminta KPK dan lembaga penegak hukum lain tidak ragu dalam menjerat korporasi yang terlibat korupsi.

Jubir MA, Suhadi menyatakan, sebelum terbitnya Perma, penegak hukum ragu memidanakan korporasi lantaran tak ada hukum acara yang mengatur, terutama soal identitas korporasi. Hal itu karena dalam KUHAP, penegak hukum harus menyebutkan identitas pihak terdakwa seperti tempat dan tanggal lahir, agama, profesi dan sebagainya.

Perma ini mengatur secara rinci prosedur dan tata cara pemidanaan korporasi. Dengan demikian, lembaga penegak hukum dapat memenuhi syarat formil dan materiil.

"Saya jelaskan hukum acara menyangkut orang pribadi. Bagaimana penyidik dan penuntut umum ragu-ragu membawa itu ke pengadilan, apa agamanya, lahir di mana harus ada kan begitu. Dakwaan harus memuat syarat formil dan materiil kalau tidak batal demi hukum. Jadi tidak mungkin delapan identitas ditaruh ke korporasi jadi Perma itu bisa menentukan," kata Suhadi di Jakarta, Selasa 21 Februari 2017.?

KPK Akan Awasi Rekam Jejak Calon Kepala Daerah

Suhadi menjelaskan, Perma ini mengatur mengenai hukum acara prosedur sementara ketentuan sanksi yang melekat hukum materiil ditentukan UU. Seperti pidana yang menjerat perorangan, korporasi terang Suhadi bisa juga dijerat dengan Undang-Undang Tipikor dan UU TPPU sekaligus. Bahkan, menurut Suhadi, perusahaan yang melakukan tindak pidana berat dapat dituntut seperti halnya perorangan yang dijatuhi hukuman mati.

"Seperti korporasi itu hanya bisa dihukum denda tapi dari UU Money Laundrying dan UU Pemberantasan Korupsi keuntungan dari korporasi diambil dan bahkan sampai hukuman mati pun, dalam arti bahwa bisa perusahaan itu dalam putusan hakim ditutup karena melakukan suatu tindak pidana yang berat karena melibatkan korporasi sebagai subjek hukum.” (mus)
    

Jokowi: Pemerintah Tidak Main-main dengan Pemberantasan Korupsi
Gedung Lembaga Administrasi Negara RI

LAN Dukung Tata Kelola Pemerintahan dan Pencegahan Korupsi

Keseriusan LAN mendukung program pemerintah dalam hal mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan anti korupsi, tampak dari beberapa prestasi yang diraihnya.

img_title
VIVA.co.id
27 Januari 2022