Kisah Rumah Reyot Sumanto Si Manusia Kanibal
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Sumanto, pria warga Purbalingga Jawa Tengah yang dijuluki si manusia kanibal, masih menjalani proses hukum serta rehabilitasi atas kasus yang menjeratnya. Rupanya kondisi memprihatinkan dialami belasan anggota keluarga Sumanto.
Kondisi tragis terlihat pada rumah keluarga mantan terpidana kasus pencurian dan perusakan jenazah dari kuburan itu yang jauh dari layak.
Rumah keluarga Sumanto terletak di Desa Pelumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga. Rumah yang dihuni orang tua Sumanto, Nuryadikarta (70 tahun), itu sangat mengenaskan. Rumah berukuran 7x7 meter itu terbuat dari papan kayu dan dinding anyaman bambu yang sederhana. Selain tampak reyot, kondisi genting pun kerap bocor saat hujan.
Karena sering tertimpa hujan, kayu penahan genting juga lapuk dan dimakan rayap. Tak ada kamar mandi di rumah itu. Wajar jika mau buang air besar, seisi keluarga harus mengantre menuju sungai di belakang rumah.
“Kalau buang air di sungai, kalau mandi biasanya numpang di tempat tetangga. Kalau tidur, ya, di mana saja. Ada yang tidur di tumpukan batu. Batunya ambil dari pinggir sungai,” kata Nuryadikarta dalam bahasa Jawa ketika ditemui di rumahnya pada Selasa, 21 Februari 2017.
Tak ada yang mengira rumah kecil nan reyot keluarga Sumanto itu dihuni 14 orang. Mereka terdiri tiga kepala keluarga, yakni keluarga ayah Sumanto, Nuryadikarta, dan istrinya, Samen; keluarga adik-adik Sumanto, yakni Karyono dan Mulyati.
Samen (60 tahun), ibu Sumanto, mengaku hanya pasrah dengan kondisi rumahnya yang tidak layak. Ia dan belasan keluarganya bahkan telah puluhan tahun merasakan getir hidup di rumah reyot itu. "Kita juga serba kekurangan. Paling-paling hanya untuk makan, tidak yang lain-lain," ujarnya.
Menurut perempuan berambut putih itu, hanya tiga dari 14 anggota keluarganya yang memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan. Di usianya yang senja, Samen masih bekerja menjual tempe dengan berkeliling kampung. Anaknya, Karyono, menjadi tukang pijit keliling, dan Mulyati bekerja membuat rambut palsu. Penghasilan Mulyati dan Karyono pun pas-pasan; tidak cukup untuk membangun rumah.
"Tempenya saya tawarkan pada warga sekitar. Kadang dapat dua puluh ribu, kadang tiga puluh ribu. Saya jualannya jalan kaki tiap hari antara enam kilometer sampai tujuh kilometer," ujar Samen.
Dalam setiap aktivitasnya, perempuan renta itu pun hanya bisa berdoa akan datang keajaiban untuk keluarganya. Utamanya dapat hidup layak seperti orang-orang pada umumnya. "Tapi kami terus berikhtiar. Sebisa mungkin kita bisa makan sehari-hari," katanya.
Dibongkar
Doa Samen dan keluarganya untuk hidup di rumah layak rupanya berwujud berkah. Hal itu seiring kedatangan anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah serta uluran tangan warga yang berkomitmen membangun rumah milik keluarga Sumanto.
Pada Jumat pekan lalu, sebagian rumah reyot itu dibongkar warga untuk dibangun rumah permanen. Pemerintah juga membangunkan kamar mandi di lokasi itu.
"Butuh dana tiga puluh juta rupiah juta untuk membangun rumah ini. Kita dapat empat belas juta rupiah, sumbangan uluran tangan dari berbagai pihak. Bersyukur kekurangannya ditutup anggota Dewan," kata Kuswanto, Kepala Dusun I, Desa Pelumutan.
Sejak bebas dari hukuman atas kasus pencurian mayat pada tahun 2007, Sumanto sempat ditolak para tetangga untuk kembali ke kampungnya di Desa Pelumutan. Dia kini tinggal di Panti Rehabilitasi Jiwa Supono. Dia menjalani terapi jiwa dan belajar ilmu agama.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Yudi Indras Wiendarto, mengatakan bahwa kondisi rumah tak layak keluarga Sumanto itu adalah satu dari ribuan kondisi serupa di Jawa Tengah. DPRD berkomitmen menyelesaikan pembangunan rumah Sumanto selama dua bulan.
“Kekurangan akan kami tutup. Saya berkomitmen membangun dan kurang dari dua bulan bisa ditempati,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Menurut data yang ia himpun, ada sekitar 1,6 juta rumah tak layak huni (RTLH) di seluruh Jawa Tengah. Itu imbas tingginya angka kemiskinan dan belum mendapatkan perhatian pemerintah. Penanganan RTLH baru mencapai 63.273 unit atau 3,6 persen sejak tahun 2011 hingga 2016.
"Komposisi APBD Jawa Tengah untuk pengentasan kemiskinan masih sangat kurang. Penanganan RTLH masih sangat kecil. Maka Pemerintah Provinsi harus lebih fokus,” kata Yudi.