KPK Soroti Vonis Irman Gusman
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan masih harus mengkaji putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.Â
Pasalnya, putusan majelis hakim yang diketuai oleh Nawawi Pamolango itu jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yang menuntut Irman diganjar 7 tahun penjara.
"Terkait dengan vonis pengadilan Tipikor terhadap Irman Gusman, KPK akan mempertimbangkan apa melakukan upaya hukum banding atau tidak. Kami akan pikir-pikir dalam waktu sekitar 7 hari ini," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin 20 Februari 2017.Â
Meskipun, kata Febri pihaknya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya hakim atas pidana tambahan yakni pencabutan hak politik Irman Gusman. Pencabutan hak politik Irman adalah sejarah baru, karena walaupun KPK sudah banyak menuntut terhadap para pelaku korupsi, namun baru dalam sidang Irman ini dikabulkan hakim di tingkat Pengadilan Tipikor Jakarta.Â
"Untuk pencabutan Hak Politik terhadap terdakwa, tentu kami perlu apresiasi putusan Hakim. Sebelum ini sejumlah terdakwa juga sudah dilakukan pencabutan hak politik, namun cenderung bukan di tahap awal, mulai dari yang dicabut tanpa batas waktu hingga dalam jangka waktu tertentu," kata Febri. Â
Menurut Febri, langkah majelis hakim sudah sejalan dengan amanat Pasal 35 dan Pasal 38 KUHP, serta Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Pemberantasan Korupsi. Dan KPK memandang, pencabutan hak politik bagi pelaku korupsi terkait posisi dan jabatan politik ini sangat penting supaya ada efek jera. "Jadi ini merupakan sesuatu yang penting diterapkan secara konsisten."Â
Sebelumnya, tidak hanya pidana pokok, majelis hakim yang diketuai Nawawi Pamulango juga mencabut hak politik Irman Gusman. "Menetapkan tidak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun usai menjalani pidana pokok," kata Nawawi membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl. Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin 20 Februari 2017.
Nawawi menjelaskan, tujuan pencabutan hak politik untuk melindungi publik dari kemungkinan terpilihnya oknum berperilaku koruptif dalam jabatan publik seperti anggota DPR, DPD, dan MPR.
"Anggota DPR, DPD, dan MPR RI merupakan perwakilan masyarakat yang memperjuangkan aspirasi publik, karena itu selayaknya tidak berperilaku koruptif," kata Nawawi.
Adapun pidana pokoknya, Irman Gusman divonis empat tahun 6 bulan penjara dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Irman terbukti menerima Rp100 juta dari Bos CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi, sebagaimana dakwaan Jaksa pada alternatif pertama.
Suap itu diberikan karena Irman membantu pengurusan kuota gula impor milik Bulog untuk perusahaan Sutanto, yang kemudian didistribusikan lagi ke daerah Sumbar. Majelis hakim mengangap Irman Gusman terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.Â
Dalam pertimbangannya, majelis menyebut perbuatan Irman telah menciderai amanat sebagai Ketua DPD RI,
tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan tidak berterus terang dalam persidangan.
Namun diketahui, putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK, yakni penjara selama 7 tahun, denda sebesar Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Dalam persidangan, Irman juga terbukti bersedia bantu Memi dengan meminta keuntungan sebesar Rp300 dari setiap kilogram gula yang diberikan Perum Bulog. Namun dari 3000 ton gula impor, baru 1000 ton yang dikucurkan Bulog ke CV Semesta Berjaya. (mus)