Dahlan Iskan Anggap Panggilan Kejagung Via Faksimile Tak Sah
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id - Pihak mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, menilai panggilan pertama yang diterima dari Kejaksaan Agung untuk pemeriksaan dugaan korupsi pengadaan mobil listrik tidak sah. Sebab panggilan dikirim Kejaksaan melalui faksimile, bukan surat resmi diantar langsung.
Karena dikirim via faksimile, maka Dahlan menilai panggilan pemeriksaan itu tidak sesuai ketentuan dan tidak sah. Mantan Direktur Utama PT PLN itu menganggap yang dihitung adalah panggilan yang kedua hari ini.
"Terkait dengan surat panggilan pertama, diterima Pak Dahlan dalam bentuk copy faks (salinan faksimile), bukan surat resmi. Karena itu dengan sendirinya secara hukum surat panggilan itu dianggap tidak ada," kata pengacara Dahlan, Agus Dwi Warsono, di kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur, Surabaya, pada Senin, 13 Februari 2017.
Baru pada panggilan kedua, kata Agus, Kejagung mengirimkan surat secara resmi. Namun, karena kondisi kesehatan Dahlan belum pulih, pengacaranya menyampaikan surat pemberitahuan kepada penyidik tidak memenuhi panggilan.Â
"Terkait panggilan kedua kali ini, kami juga sampaikan dengan kondisi kesehatan Pak Dahlan yang belum pulih, kami berharap panggilan itu juga dianggap tidak ada (tidak dihitung secara hukum)," kata Agus.
Dia berharap penyidik menunda pemeriksaan Dahlan hingga praperadilan yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan putus. "Alasan kami mengajukan praperadilan, karena penetapan tersangka Pak Dahlan prematur, hanya didasarkan pada petikan putusan MA (Mahkamah Agung)," ujar Agus.
Penetapan Dahlan sebagai tersangka korupsi mobil listrik terkuak ketika Kejati Jatim menerima surat pemberitahuan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan 16 unit mobil jenis electric microbus dan electric executive bus dari Kejagung beberapa hari lalu. Dalam surat itu Dahlan disebut tersangka.
Dahlan menanggapi santai status tersangka yang disandangkan kepadanya. Dia bahkan menyindir Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo, ingin mencetak Museum Rekor Indonesia atau Muri dengan menetapkannya tersangka sampai tiga kali.