Putusan Perkara Terkait Suap Patrialis Molor Delapan Bulan
- VIVA/Nur Faishal
VIVA.co.id – Perkara dugaan suap yang menjerat hakim pada Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, berkaitan dengan uji materi Pasal 36 C ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 46E ayat (1) Undang-undang Nomo 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Uji materi dimohonkan oleh aktivis peternakan dan daging yang merasa berpotensi dirugikan oleh pemberlakuan zona base yang ditentukan di pasal itu.
Lima nama pemohon tercantum dalam perkara bernomor 129/PUU-XIII/2015 itu, termasuk di antaranya dokter hewan. Dua di antaranya ialah Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Teguh Boediyana, dan Ketua Paguyuban Pedagang Sapi dan Daging Segar (PPSDS) Jawa Timur, Muthowif.
"Undang-undang yang kami uji materi ditetapkan oleh pemerintah pada 17 Oktober 2014, ditandatangani oleh Presiden SBY," kata Thowif, sapaan akrabnya, ditemui VIVA.co.id di Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis malam, 26 Januari 2017.
Perkara tersebut, cerita dia, didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) setahun berikutnya, Oktober 2015. Pemohon meminta MK membatalkan Pasal 36 pada undang-undang tersebut. Sidang perdana digelar pada Januari 2016.
"Karena ada Pilkada, sidang selanjutnya digelar pada April. Saya mengikuti sidang di MK mulai April itu sampai semua saksi selesai dimintai pendapat pada Mei," ujar Thowif. Pemohon berharap Agustus 2016 sudah diputus. "Tapi sampai sekarang belum diputus-putus."
Thowif lalu bercerita perihal alasan kenapa dia dan kawan-kawannya sesama aktivis peternakan dan pedagang sapi rakyat mengajukan uji materi. Dua alasan paling jadi dasar, yakni terkait melubernya daging impor dan negara belum menjamin daging impor bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) ke pasar Indonesia.
Sejak Undang-undang Peternakan dan Kesehatan hasil revisi itu ditetapkan, daging impor dari India dan Amerika Latin mulai memasuki pasar Indonesia sejak awal 2015. Tahun berikutnya daging dari India kian merangsek dan menguasai pasar daging Indonesia. "Padahal, India termasuk negara dan zona yang belum bebas PMK, menurut OIE, organisasi hewan dunia," jelas Thowif.
Alasan kedua, lanjut pengurus Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama Jawa Timur itu, membanjirnya daging impor dari India secara pelan-pelan menekan peternak dan pedagang daging segar alias daging lokal. Sebab, harga daging India jauh lebih murah dari daging lokal.
"Daging India masuk Indonesia Rp60 ribu/kilogram, di pasaran Rp80 ribu/kilogram. Itu lebih murah dari daging Australia. Sementara daging lokal Rp100 ribu/kilogram lebih," ujar Thowif.
Masuknya daging India ke Indonesia sempat jadi heboh karena ditengarai bukan daging sapi, tapi daging kerbau. "Semula pemerintah menutupi itu, tapi setelah kami protes, pemerintah memperjelas bahwa daging dari India memang daging kerbau India," katanya.
Seperti diberitakan, Patrialis Akbar tertangkap tangan menerima dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 25 Januari 2017. Dia diduga menerima suap dari pengusaha berinisial BHR dan FNY, sekretaris BHR, diberikan melalui perantara berinisial KML. Suap terkait uji materi Pasal 36 UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis dan tiga penyuapnya sudah ditetapkan tersangka. (mus)