Tanpa Definisi, Penanganan Terorisme Berpotensi Langgar HAM
- REUTERS/Jayanta Dey
VIVA.co.id – Ketiadaan definisi dan pengertian terorisme telah menjadi perhatian badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena berpotensi menciptakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Bahkan, PBB telah menunjuk pelapor khusus dengan nama U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism, yang bekerja berdasarkan mandat Resolusi 2005/80 dari Komisi HAM PBB, dan diperkuat Resolusi 60/251 dari Dewan HAM PBB.
Di Indonesia, pada naskah RUU Terorisme juga belum terdapat definisi jelas mengenai terorisme. Untuk itu, Institute for Criminal Justice Reform memberikan perhatian khusus terhadap pembahasan awal RUU Terorisme, agar mencantumkan definisi dan pengertian terorisme secara jelas.
Menururt ICJR, perumusan definisi ini penting dan merupakan pintu masuk untuk mengatur materi muatan terkait tindak pidana terorisme. Jika tidak, peluang pelanggaran HAM dalam penegakan hukum terorisme akan terus terbuka.
Definisi Teroris ini tak ada dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
“Bahkan dalam RUU yang di rumuskan oleh pemerintah, pengertian terorisme ini juga sengaja tidak dicantumkan. Walaupun Pemerintah tidak memasukkan substansi ini, namun ICJR berharap Pansus RUU terorisme secara sungguh-sungguh mempertimbangkan usulan untuk memberikan definisi atas terorisme,” kata Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR, di Jakarta, Rabu, 11 Januari 2017.
Terkait mandat tersebut, U.N. Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism, telah membuat pijakan untuk mendefinisikan terorisme. Dalam laporannya, ditegaskan bahwa kebijakan, hukum, dan praktik dari pemberantasan terorisme harus dibatasi khusus dan didefinisikan secara cermat, hanya untuk tujuan pemberantasan dan pencegahan terorisme.
Sebab, penggunaan terminologi yang meluas dapat membawa potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Termasuk kegagalan dalam membatasi aturan, sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan terorisme bisa mengurangi hak asasi dan kebebasan dasar, serta mengabaikan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas yang mengatur tentang pembatasan terhadap hak asasi manusia.
Badan khusus PBB itu mengusulkan definisi terorisme dibuat berdasarkan beberapa elemen, yaitu terorisme adalah perbuatan atau upaya percobaan, dimana perbuatan tersebut ditujukan untuk menyatakan permusuhan, bertujuan menimbulkan kematian atau mengakibatkan luka serius terhadap satu atau sekelompok orang, atau melibatkan kekerasan fisik yang serius atau mematikan terhadap satu atau sekelompok orang. Dan perbuatan tersebut, dilakukan dengan niat untuk menimbulkan keadaan atau situasi ketakutan serius di masyarakat.
Sementara untuk penghasutan untuk melakukan terorisme, adalah “Perbuatan yang dengan sengaja dan melawan hukum dengan mendistribusikan pesan kepada masyarakat dengan maksud untuk menghasut terjadinya tindakan terorisme yang dilakukan secara terang – terangan ataupun pesan tersebut mengandung maksud untuk menganjurkan perbuatan terorisme yang menyebabkan bahaya bagi masyarakat apabila perbuatan tersebut telah dilakukan.”
ICJR berharap Pansus Terorisme berhasil merumuskan pengertian terorisme dalam Pembahasan awal rancangan undang-undang ini. “Agar Undang-Undang Terorisme yang dimiliki Indonesia lebih kuat dan lebih komprehensif dalam melakukan pencegahan dan penegakan tindak Pidana Terorisme,” jelas Supriyadi.