Dinasti Politik Berpotensi Melahirkan Koruptor Baru

Diskusi: Hati-hati Politik Dinasti Rawan Korupsi
Sumber :
  • VIVA/Yunisa Herawati

VIVA.co.id – Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transpasi Anggaran (FITRA), Apung Widardi, menyebut bahwa politik dinasti merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara.

Polemik Pilkada 2024: Diwarnai Calon Tunggal, Mantan Napi, hingga Politik Dinasti

Menurutnya, politik dinasti kerap memanfaatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah menjadi sumber pendanaan demi melanggengkan kekuasaan.

"Bahkan, bukan hanya anggaran, tapi bagaimana manfaatkan birokrasi jadi sumber uang seperti yang dilakukan Bupati Klaten," kata Apung dalam diskusi di Kawasan Sarinah, Jakarta, Selasa, 3 Januari 2017.

Survei LPI di Cagub Kaltim: 50,3% Masyarakat Menolak Memilih Dinasti Politik

Dia mencontohkan, meski simbol dinasti politik Banten yakni Ratu Atut Chosiyah sudah tumbang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, namun praktik penyalahgunaan APBD masih terus terjadi.

"Bayangkan, program-program yang pro rakyat atau bantuan sosial meningkat saat menjelang pilkada. Selain itu juga mempromosikan salah satu pasangan calon gubernur karena merupakan saudara," ujarnya.

Menurut Penelitian, Wilayah yang Dikuasai Dinasti Politik Identik dengan Kemiskinan

Apung menyatakan, Fitra mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah yang rentan dengan politik dinasti.

"Kepala daerah yang tidak berasal dari dinasti politik saja berpotensi korupsi. Apalagi yang berasal dari dinasti politik, pasti akan memenuhi kepentingan-kepentingan saudaranya," katanya.

Sementara itu, Pengamat Politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti membeberkan kerugian adanya politik dinasti. Menurutnya, politik dinasti dipastikan melahirkan koruptor-koruptor baru. Hal itu merujuk sejumlah anggota dinasti politik Ratu Atut Chosiyah tersandung kasus korupsi.

"Lalu kerugiannya apa saja, yaitu enggak lebih hanya menguntungkan keluarganya saja," kata Ray dalam diskusi yang sama.

Kemudian, mayoritas daerah yang dipenuhi dengan politik dinasti mengalami perlambatan pembangunan bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari lambatnya proses pembangunan di Provinsi Banten akibat adanya politik dinasti keluarga Atut. Padahal, kata dia, anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi Banten cukup besar.

"Daerah yang APBD-nya enggak sampai Rp1 triliun saja bisa mengembangkan daerahnya sebut saja Bantaeng di Sulawesi Selatan, mereka bisa mendapatkan sesuatu yang mereka harus punya seperti pendidikan gratis," ujarnya.

Oleh karena itu, menurutnya, politik dinasti harus diatur melalui mekanisme hukum. Apalagi kultur politik melawan dinasti politik saat ini tidak tumbuh di tengah para politisi tanah air. Selama ini para politikus dinilai hanya mengerti demokrasi sebatas hukum bukan persoalan etika.

"Justru yang terjadi sekarang membajak demokrasi untuk menyuburkan politik dinasti yang jelas terbukti di lapangan bahwa itu tidak bagus bagi bangsa kita dan menghambat proses kekuasaan," kata Ray. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya