- Reuters/Mike Segar
VIVA.co.id – Selasa tengah malam, 8 November 2016. Kemeriahan di Gedung Jacob K. Javits di Distrik Manhattan, Kota New York, berubah menjadi arena sedu sedan. Ada yang menangis sesenggukan, ada yang cuma terpana. Banyak pula yang saling berpelukan, coba menghibur teman seperjuangan satu sama lain.
Malam itu, para hadirin tak percaya bahwa pujaan mereka yang selama berbulan-bulan diperjuangkan, Hillary Rodham Clinton, kalah Pemilihan Umum. Gagal sudah upaya dia mengukir sejarah sebagai perempuan pertama Amerika yang menjadi presiden sepanjang sejarah negeri adidaya itu.
Tak hanya seisi Gedung Jacob Javits, seluruh dunia pun tak percaya bahwa Hillary - istri mantan Presiden Bill Clinton yang sudah makan garam di lingkungan politik Washington yang serba keras dan penuh intrik - bisa sampai kalah dari Donald Trump. Padahal, apalah yang bisa dibanggakan Trump di gelanggang politik selain berstatus sebagai anak orang kaya yang sangat beruntung dan belakangan lebih populer sebagai bintang acara reality show ketimbang sebagai konglomerat yang sukses.
Namun, itulah “serunya” pertarungan politik di Amerika, negara yang selama ini mengagungkan diri sebagai kampiun demokrasi. Siapa pun bisa dan berkesempatan jadi pemimpin walau dia beretnis minoritas - seperti yang sudah dibuktikan oleh Barack Obama selama sepuluh tahun - dan kini diulangi lagi oleh Trump, walau dia tak punya pengalaman sama sekali di kancah politik. Pengalaman berpolitik bukan modal utama, namun juga harus tampil percaya diri, “tahan banting,” gigih dan punya keberuntungan.
Buktinya Trump bisa menang Pemilu secara sah dan kemenangannya diakui oleh Hillary, walau melalui sistem perhitungan suara yang njelimet yang dikenal dengan electoral college. Hillary memang lebih populer, karena total jumlah suaranya lebih banyak dari yang dikumpulkan Trump. Namun, menurut Electoral College, Trump unggul di wilayah-wilayah yang punya bobot suara lebih besar dari yang diperoleh Hillary.
Makanya, Selasa malam itu, energi yang terkumpul sejak siang hari untuk merayakan kemenangan Hillary berubah menjadi kesedihan. Hillary dan pendukungnya pasrah melihat Trump berhasil mengantongi 276 suara di electoral college, sedangkan mantan Menlu AS itu hanya mengumpulkan 216 suara.
Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Kemenangan Trump di Pemilu AS itu merupakan salah satu peristiwa sensasional sepanjang 2016. Dan terpilihnya Trump menjadi presiden baru AS ini diyakini banyak pihak bakal membawa perubahan ekstrem, tidak hanya bagi negerinya, namun bagi seluruh dunia. Ini mengingat Trump dikhawatirkan bakal menerapkan kebijakan-kebijakan berbeda dari yang diterapkan para pemimpin Amerika sebelumnya.
Kemenangan Trump bisa membuat dunia ketar ketir. Ke mana tokoh yang sering kali “asal bicara” itu membawa AS melangkah? Bagaimanapun, apa yang terjadi di AS, pasti akan berpengaruh ke seluruh dunia.
Diberitakan oleh Reuters, 9 November 2016, sebelum penghitungan suara berakhir, tim Pemenangan Kampanye Hillary Clinton, John Podesta, naik ke podium. Ia meminta semua pendukung Hillary yang ada diruangan itu untuk tetap tenang dan pulang ke rumah masing-masing. Hari itu, 8 November 2016, sejarah AS mencatat, untuk kedua kalinya Hillary Clinton gagal menjadi orang nomor satu negara adi daya tersebut. Pedih, karena kali ini ia berada diatas angin, karena dua pekan terakhir, seluruh jajak pendapat menyampaikan hasil, Hillary akan menang. Namun kemenangan Trump membuyarkan mimpi Hillary.
Penolakan warga AS atas terpilihnya Trump ramai di jagat maya. Menggunakan tagar #HesNotMyPresident, lebih dari 180.000 akun twitter ikut menyatakan kekecewaan dan kekhawatiran mereka. Diberitakan oleh BBC, Kamis, 10 November 2016, seorang pengguna twitter dengan akun @SIGHFRANKIE menulis, "Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak selamanya #HesNotMyPresiden." Sedangkan akun @punkmifitxoxx menuliskan, "Selama saya masih peduli pada tanah air, satu-satunya yang penuh kebebasan dan kemerdekaan, Amerika sejati #HesNotMyPresiden."
Cynthia Dewi Oka, seorang warga AS keturunan Indonesia, kepada VIVA.co.id, mengaku sangat tak terima dengan kemenangan Trump. Menurutnya, warga keturunan seperti dirinya yang selama ini hidup aman dan nyaman di AS, kini sedang berada dalam kondisi harap-harap cemas dan suram.
Kekhawatiran dan kecemasan sebagian warga AS sangat beralasan. Sejak belum menjadi kandidat Presiden AS, ucapan-ucapan yang disampaikan Trump sering kali provokatif. Ia, misalnya, pernah mengatakan akan membatasi Muslim masuk ke AS. Trump bersumpah tak akan membiarkan Muslim, termasuk imigran Muslim, masuk AS. Ia juga mengobarkan kemarahan warga Meksiko dengan mengatakan negara tersebut hanya mampu mengirimkan narkoba dan pekerja kasar. Ia berjanji akan membangun tembok perbatasan dengan Meksiko.
Kecemasan warga AS juga dirasakan di seluruh dunia. Kemenangan Trump dianggap akan membawa perubahan besar dalam peta politik dan ekonomi dunia. Belum tentu menjadi lebih baik, bisa jadi malah lebih buruk. Jargon Trump “Makes America Great Again,” dianggap sebagai sinyal bahwa dibawah kendali Trump, Amerika akan menjadi semakin “keras” agar kembali berjaya.
Diberitakan oleh Telegraph, Kamis, 10 November 2016, ada tiga hal yang akan menjadi program utama Trump dalam masa 100 hari kepemimpinannya, yaitu imigrasi, kebijakan luar negeri, dan reformasi dalam negeri. Trump, seperti dikutip dari Telegraph, bahkan sempat mengatakan akan menghapus jejak Obama. "Dia (Trump) telah menghabiskan beberapa jam untuk mengidentifikasi dan menandatangani dokumen-dokumen yang 'berbau' program kerja Obama. Mungkin sekitar 25 dokumen yang ditolaknya," ungkap Stephen Moore, seorang penasihat kampanye resmi Trump.
Trump akan membangun dinding perbatasan yang semua biayanya dibebankan kepada Meksiko.
Untuk urusan imigrasi, Trump dikabarkan sudah siap untuk mendeportasi ratusan ribu imigran yang tak memiliki surat-surat lengkap. Sebuah langkah yang menurut sejumlah ahli justru akan merusak ekonomi negeri Paman Sam lantaran berpotensi besar kehilangan pasar tenaga kerja.
Ia juga akan menangguhkan datangnya imigran dari wilayah atau negara yang rawan konflik, di mana pemeriksaan akan semakin diperketat. Hal tersebut merujuk pada Meksiko, Suriah, Irak dan Afghanistan. Dan, yang paling fantastis adalah membangun dinding perbatasan yang dibebankan semuanya kepada Meksiko.
Sedangkan soal kebijakan luar negeri, Trump menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan menjamin perlindungan bagi negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) apabila diserang oleh musuh. "Saya hanya akan membantu jika negara itu telah 'memenuhi kewajibannya'", kata dia, dalam sebuah wawancara. Artinya, bila NATO ingin dilindungi oleh AS maka mereka harus membayar 'ongkos ekstra. Trump mengancam, jika hal itu tidak dilaksanakan, maka seluruh pasukan AS di NATO dan Eropa akan ditarik pulang.
Ekstrem atau Alternatif?
Arry Bainus, Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, menilai kemenangan Trump bukan suatu hal yang mengejutkan. Namun Arry menganggap tak perlu terlalu mengkhawatirkan Trump.
Menurutnya, bisa jadi apa yang disampaikan Trump hanyalah cara untuk menarik pemilih. Dan itu terbukti. Trump berhasil memenangkan pemilu AS meski hanya selisih sedikit suara. “Betul, dunia saat ini menunggu sikap politik dan ekonomi Trump, tapi menurut saya, kita bisa melihatnya dari susunan kabinet yang ia pilih nanti. Waktu George Bush jadi presiden, orang-orang yang ia pilih untuk berada dalam kabinetnya adalah orang-orang yang keras dan senang perang,” katanya menjelaskan.
Arry membandingkan kabinet Bush dengan Obama. Menurutnya, kabinet Obama lebih dipenuhi oleh orang-orang yang mengedepankan negosiasi dan diplomasi. Itu sebabnya di masa Obama, Amerika cenderung lebih damai.
Pakar Hubungan Internasional dari Unpad ini menyangsikan, saat memimpin nanti Trump akan sekeras masa kampanye. Menurutnya, tak mudah melaksanakan apa yang disampaikan Trump.
Misalnya soal keinginan Trump melarang Muslim masuk ke AS. Sikap itu jelas akan memunculkan kemarahan dan solidaritas dari negara-negara Timur Tengah. Padahal sampai sekarang, Amerika masih menggantungkan kebutuhan minyaknya pada Timur Tengah, juga soal membangun tembok dengan Meksiko. Arry mengaku tak percaya Trump akan melakukan itu.
“Begitu pula soal China. Tak mudah menghadapi China yang keras dengan kebijakan Satu China,” ujarnya. Meski Trump sudah memulainya dengan melakukan hubungan via telpon dengan Taiwan, namun Arry tak yakin itu akan berlanjut. “Ia bicara keras saat kampanye hanya untuk mendapatkan suara,” ujarnya menegaskan.
“Benar bahwa saat ini seluruh dunia menunggu aksi dan kebijakan Trump dalam masalah politik dan ekonomi, namun itu semua baru akan terlihat jelas saat Trump memilih orang-orang dalam kabinetnya. Dia sudah memilih Menhan yang keras dan dari militer, namun ternyata dia memilih Menlu dari kalangan pebisnis. Ini kan menunjukkan, politik luar negeri Trump justru mengarah ke perdagangan,” kata Arry.
Menurutnya, apa yang terjadi di dunia saat ini bukan sesuatu yang ekstrem, namun alternatif. “Setiap negara sudah bosan dan lelah karena perubahan yang tak jelas, bahkan sama sekali tak ada perubahan. Itu sebabnya seluruh dunia mencari alternatif. Itu sebabnya pemimpin seperti Duterte di Filipina, dan Trump di AS bisa terpilih. Karena mereka mencari pemimpin yang bisa dianggap memberi terobosan, meski kontroversi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat 16 Desember 2016.
Arry mengatakan, gejala kebosanan ini memang sedang meluas di seluruh dunia. Hal ini yang menjadi penjelasan, mengapa warga Inggris memilih Brexit, dan ISIS mampu mendapat pengikut. “Jadi sebenarnya ini hanya sebuah kebosanan sehingga dunia mencari pilihan baru, dengan harapan pilihan baru yang berbeda ini akan memunculkan perubahan yang mereka harapkan,” ujarnya menambahkan.
Ia menganggap, dunia saat ini sedang berada dalam era turbulence. Dunia, ujar Arry, sangat tidak jelas. “Dinamikanya kemana-mana, dan arahnya tidak jelas,” katanya. Ia menunjuk Trump dan Duterte, yang meski banyak musuh dan sering melecehkan, termasuk pada perempuan, namun tetap bisa menang pemilu. Menurutnya, saat ini sebenarnya justru terlihat, betapa warga dunia membutuhkan figure dengan karakter yang khas.
Salah satunya keberanian. “Nanti kita bisa lihat, apakah Trump seberani saat dia bicara atau hanya omong saja. Duterte sudah membuktikan, tapi Trump belum tentu,” ujarnya.
Latar belakang seseorang akan sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadinya. Arry menilai, dengan latar belakang Trump yang pengusaha, akan sulit buat Trump untuk bersikap kaku seperti yang dia sampaikan saat kampanye.
Jadi, meski terpilihnya Trump telah membuat dunia berdegup, namun Trump belum memilih kabinetnya. Apa yang akan dilakukan Trump saat memimpin AS nanti akan bisa dibaca setelah dia memilih tim kerja. Sepertinya, masa detakan keras jantung seluruh pemimpin dunia masih akan panjang. Dan pertanyaan baru akan terjawab di tahun 2017 mendatang.