- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Deretan kursi tunggu tempat pelayanan terpadu wajib pajak pagi itu tak penuh terisi. Hanya beberapa orang duduk santai. Suasana sepi masih menyergap. Belum ada antrean.
Hampir tak terlihat kesibukan di beberapa sudut ruangan Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Khusus Wajib Pajak Besar di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan itu.
Pagi itu, Rabu 7 Desember 2016, petugas TPT di loket KPP Pratama Jakarta KB I, KPP Perusahaan Masuk Bursa, dan KPP Wajib Pajak Besar Empat baru segelintir. Helpdesk pelayanan program pengampunan pajak pun masih belum banyak aktivitas.
Hingga pukul 10:00 WIB, belum banyak wajib pajak yang tiba. Bahkan, yang menunjukkan ciri-ciri seperti pengacara, notaris, maupun kurator. Hanya pegawai negeri sipil berseragam putih hitam yang masih terlihat di berbagai sudut gedung.
“Ini tantangan untuk sosialisasi, imbauan, dan mengajak pengacara, notaris, kurator, untuk ikut tax amnesty di periode kedua". Begitu ungkapan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat berdialog dengan puluhan pakar hukum akhir November lalu.
"Tarif tebusan masih rendah. Kami harapkan mereka ikut tax amnesty. Masih ada waktu sampai Maret,” Sri Mulyani melanjutkan.
Ya, selama 2016, wajib pajak di kalangan profesi itu gencar dibidik pemerintah untuk ikut program pengampunan pajak atau tax amnesty. Imbauan yang diharapkan diikuti oleh kalangan profesi hukum untuk program amnesti pajak periode kedua itu, mewarnai kebijakan ekonomi tahun ini. Bahkan, kesempatan itu akan terbuka hingga Maret 2017.
Suasana penerimaan amnesti pajak. Saat ini, tax amnesty memasuki periode kedua.
Seperti ditunjukkan Hotman Paris Hutapea saat amnesti pajak periode pertama. Saat itu, pengacara kondang itu menyambangi Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Sunter, Jakarta Utara pada Kamis 15 September 2016.
Pagi itu, Hotman Paris beserta istri dan tiga anaknya berinisiatif mengikuti program pengampunan pajak atau amnesti pajak periode pertama. Dia mengakui ada sejumlah aset yang dimilikinya belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan.
Pengacara yang telah memiliki SPT pajak sejak 1990-an ini, mau mengikuti program pemerintah karena menyadari risiko yang akan terjadi bila menyembunyikan harta untuk menghindari pajak. Ia dalam pelaporannya mencantumkan sejumlah aset properti dan kendaraan bermotor yang belum dicantumkan dalam SPT-nya.
Hotman memberanikan diri untuk melaporkan hartanya saat ini lantaran program pemerintah ini dinilai sangat baik. Menurut dia, masih banyak advokat takut melapor karena berpikir kebijakan pengampunan pajak yang diterapkan pemerintah bersifat agak menjebak.
"Bisa jadi bangkrut kalau ketangkap di belakang. Ada ratusan miliar rupiah di deposito saya, tetapi pajak tidak tahu kan? Makanya apa yang dilakukan pemerintah (tax amnesty) adalah sesuatu yang baik," ujar Hotman, saat itu.
Hotman menjadi salah satu contoh pengacara kondang sukses yang taat dan sadar akan kewajiban pajaknya kepada negara. Kehadirannya dan keluarga seolah sengaja ditampilkan Direktorat Jenderal Pajak kepada publik untuk menjadi contoh bagi seluruh pengacara yang ada di Indonesia mau mengikuti program amnesti pajak 2016.
Namun, kenyataan yang terjadi seperti tak berjalan dengan baik. Sebab, 70 hari berselang dari pelaporan Hotman di KPP Sunter, Sri Mulyani di Hotel Borobudur Jakarta membeberkan sejumlah data-data terkait kepatuhan notaris, pengacara, dan kurator yang sangat rendah dalam lima tahun terakhir.
Kedatangan Ani sapaan akrab Sri Mulyani, di hadapan puluhan pengacara sore itu awalnya sangat tenang. Namun, ada pemandangan tak biasa muncul di Flores Ballroom, Hotel Borobudur, pada 23 November 2016. Para pengacara, notaris, dan kurator terhentak atas data yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Dari apa yang disampaikan Ani, mereka mendengarkan dengan sejumlah reaksi, ada yang tertawa dan saling tunjuk antarkawan. Atas data yang disampaikan Ani, kondisi di ruangan kemudian sangat riuh.
Bahkan ada beberapa pengacara seperti terperangah, dan menyatakan tidak terima karena merasa sudah patuh pada pajak.
Ani yang menggunakan busana batik saat itu, mengungkapkan jumlah notaris yang teridentifikasi memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di seluruh Indonesia mencapai 11.314 Wajib Pajak (WP). Namun, kepatuhan dalam lima tahun ke belakang tercatat hanya 35 persen, bahkan semakin memburuk sejak 2011.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat evaluasi program tax amnesty.
Lalu, untuk kepatuhan terhadap pengacara, Ani mengungkap lebih buruk. Sebab, jumlah pengacara yang teridentifikasi oleh otoritas pajak mencapai 16.789 WP. Namun, hanya 1.976 pengacara yang memiliki NPWP.
Kepatuhan dari pakar hukum seperti pengacara pun dipertanyakan. Sebab, hanya 522 WP atau 26 persen dari total WP yang melaporkan SPT pajaknya.
Selanjutnya, untuk kepatuhan terhadap kurator, Ani menyebutkan dari total 533 kurator yang terindentifikasi oleh otoritas pajak, hanya 277 kurator yang memiliki NPWP di Indonesia. Dari total itu, 45 persen telah menyampaikan SPT pajak, sedangkan 60 persen lainnya nihil.
"Mereka (pengacara) yang lapor SPT hanya 26 persen, padahal hampir di surat kabar, televisi, para pengacara ini panen terus," ujar Ani.
Kenapa Rendah Bayar Pajak?
Kondisi ekonomi dan penerimaan pajak selama 2016, termasuk rendahnya para pengacara membayar pajak tentu banyak sebab. Ani menilai, kepatuhan pengacara yang jauh lebih buruk dari notaris lantaran profesi ini sangat luar biasa paham mengenai hukum. Mereka sangat tahu betul bagaimana cara "mengakali" hukum dan tahu betul pasti menang.
Ani menilai, para pengacara itu adalah profesi yang sangat lihai (paham situasi), dan kelihaian tersebut dapat terlihat dari uang tebusan mereka yaitu paling kecil Rp2,7 juta dan yang paling tinggi sebesar Rp91,7 miliar.
Untuk itu, ia mengingatkan kepada para pengacara segera memanfaatkan tax amnesty, sebab program ini berakhir pada Maret 2017. Dan setelah ini berakhir, tentunya bila Direktorat Jenderal Pajak menemukan data terkait harta, maka akan dikenakan PPh atau pajak penghasilan dengan tarif normal. Bukan 2-3 persen, tapi 25 persen ditambah sanksi dua persen per bulan.
Namun, Ketua Bidang Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Sertifikasi Advokat DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Salih Mangara, mengatakan, ikut program amnesti pajak hingga Maret 2017 bukanlah suatu kewajiban bagi wajib pajak.
Sebab, menurut dia, wajib pajak yang sudah melaporkan SPT pajaknya setiap tahun sudah cukup, khususnya bagi para pengacara dan advokat. Program itu sebenarnya lebih tepat diberikan para orang yang belum lapor SPT tahunan dan ada tambahan kekayaan.
Kemudian, terkait masih tingginya angka pengacara yang belum lapor SPT, dia membela diri. Menurut Mangara, profesi pengacara tidak semuanya memiliki penghasilan besar. Bahkan ada pengacara yang pas-pasan penghasilannya dan tidak begitu sukses.
"Kami menghargai apa yang diungkapkan Bu Menteri (Menkeu Sri Mulyani), dengan adanya imbauan itu, saya kira advokat dan pengacara akan taat hukum. Jadi, jangan diartikan kalau kami tidak memanfaatkan tax amnesty," tuturnya kepada VIVA.co.id.
Senada dengan Mangara, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Erwin Natosmal Oermar, mengatakan, belum banyaknya advokat yang membayar pajak di Indonesia tak seharusnya disalahkan.
Sebab, dalam mengurus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja di kantor pelayanan pajak perlu menunggu waktu yang cukup lama dan tak jarang susah didapat. Bahkan, dia mengakui butuh waktu satu tahun untuk mendapatkan NPWP saat itu.
"Jadi, jangan salahkan masyarakat dong. Anggap saja hari ini advokat atau masyarakat belum mendeklare harta kekayaannya. Semua itu juga karena birokrasi di pajak juga masih banyak masalah, sehingga perlu dilihat akar persoalannya," tutur Erwin kepada VIVA.co.id.
Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea juga ikut program tax amnesty periode pertama.
Anggota Dewan Kajian Kebijakan Publik Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI), Albert Richi Aruan mengatakan, apa yang dilihat Kementerian Keuangan terhadap para notaris sebagai sebuah peluang dalam meningkatkan pajak tidak sepenuhnya tepat, dan itu masih perlu dibuktikan.
Menurut Albert, pola pikir birokrat tersebut harus segera diubah, karena jika melihat dari banyaknya notaris yang memiliki NPWP, belum tentu itu meningkatkan pajak. Sebab, pada dasarnya banyak juga kantor notaris yang tutup dan tidak beroperasi karena bangkrut.
Untuk itu, dengan adanya program amnesti pajak ini sebenarnya notaris sangat mendukung 100 persen. Tapi, soal potensi harus ditinjau ulang, sebab sebenarnya notaris itu tidak serta merta semuanya memiliki penghasilan yang banyak atau tinggi.
"Untuk mengukur dan meningkatkan kepatuhan pajak para notaris, pemerintah juga diharapkan bisa membuat sistem perpajakan yang accountable," ujarnya.
Kalangan notaris, menurut Albert, juga berharap sistem perpajakan final bisa dikenakan kepada profesi ini, sehingga potensi kehilangan pajak dari notaris tidak seperti yang mereka bayangkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo mengungkapkan, ada beberapa hal yang menyebabkan pengacara atau advokat masih rendah terhadap semua kepatuhannya terhadap pajak.
Pertama, adalah harus diakui ada kelompok pengacara atau advokat yang merasa kewajiban pajaknya sudah terpenuhi dan tidak ada isu lagi. Kelompok ini memang tidak terlalu banyak, namun memengaruhi kelompok lainnya.
Kedua, kelompok pengacara atau advokat yang masih wait and see, di mana kelompok ini adalah orang yang patuh dan ada yang tidak patuh. Dan ketiga adalah kelompok yang benar-benar ambil risiko, dan biasanya mereka akan terima konsekuensinya bisa terbukti salah.
Dari ketiga kelompok tersebut, Yustinus mengungkapkan, sejalan dengan pemikiran Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyatakan mereka (pengacara) masih ada hubungan dengan pendidikan, di mana profesi pengacara maupun advokat memahami semua aturan dan tahu menyiasatinya.
Untuk itu, agar profesi ini taat terhadap kewajibannya, otoritas pajak tentu harus menyiapkan sejumlah strategi. Salah satunya tentu bisa dilakukan dengan melampirkan data yang lebih akurat, sehingga pengacara dan advokat ini tidak bisa menghindar lagi.
Otoritas pajak juga dapat mengatasi hal tersebut dengan berbagai upaya, yang tentunya tidak jangka pendek yaitu melakukan single identity number. Dengan satunya identitas tersebut, siapa pun pasti akan jadi wajib pajak.
Cara ini memang sangat efektif tapi memiliki tantangan berat yaitu kepatuhan material. Jadi akan sangat efektif bila Direktorat Jenderal Pajak punya data yang akurat, seperti berapa pendapatan pengacara yang diterima, dan bersumber dari mana pembayaran jasa mereka.
Adapun mengenai besarnya potensi mereka, Yustinus menjelaskan jika potensinya masih sangat besar. Karena mereka adalah kelompok yang melapor sendiri. Terutama dari pengacara, dokter, konsultan, dan akuntan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan, untuk mengejar wajib pajak seperti pengacara ini, institusinya memang mengakui perlu banyak melakukan sosialisasi agar mereka yakin ikut amnesti pajak.
Otoritas pajak di Indonesia pun sangat yakin dengan berbagai sosialisasi para wajib pajak tersebut tidak kesulitan untuk datang ke KPP atau menyewa konsultan pajak. Terlebih bagi mereka yang memiliki sejumlah aset yang selama ini tidak tercantum dalam SPT pajak.
Selain itu, sosialisasi yang dilakukan Ditjen Pajak ke depan juga dengan menggunakan sejumlah data yang lebih akurat. Seperti menyampaikan kalau seandainya ada harta yang dimiliki WP, lalu ternyata aset yang dicantumkan dalam SPT kurang akan diingatkan sebelum dilaporkan.
"Kami akan mengingatkan terus bahwa ada fasilitas ini (tax amnesty) sebagai pilihan WP. Sekarang tinggal dimanfaatkan atau tidak. Karena setelah ini tidak ada lagi tarif pajak sebesar 2-3 persen," tuturnya.
Efektivitas Amnesti Pajak
Program amnesti pajak memang menjadi salah satu kebijakan ekonomi paling menonjol selama 2016. Di tengah upaya mencapai target penerimaan pajak, pemerintah melalui Ditjen Pajak, gencar untuk menyasar kepatuhan wajib pajak, termasuk kalangan kaya.
Namun, untuk periode kedua amnesti pajak, terlihat masih minim diminati WP. Seperti terlihat di salah satu Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Khusus Wajib Pajak Besar di bilangan Sudirman, Rabu 7 Desember 2016.
Pagi itu, tak ada antrean di loket. Helpdesk yang pada akhir periode pertama amnesti pajak tampak penuh, saat itu terlihat sepi.
Atas kondisi yang masih sepi jelang detik-detik akhir periode II ini, membuat Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Presiden dan sejumlah Menteri Kabinet Kerja kemudian melakukan roadshow ke sejumlah kota untuk kembali melakukan sosialisasi amnesti pajak.
Kali ini Presiden memilih Makassar, Balikpapan, dan Bali sebagai tempat tujuan sosialisasinya. Dalam kesempatan itu, Presiden menyampaikan kembali bahwa program amnesti pajak kali ini adalah program terakhir sebelum era keterbukaan informasi perbankan diberlakukan pada 2018.
Presiden dan sejumlah Menteri Kabinet Kerja kemudian pun melakukan roadshow ke sejumlah kota untuk kembali melakukan sosialisasi tax amnesty.
Presiden perlu melanjutkan sosialisasi secara langsung karena capaian tax amnesty yang masih tergolong rendah. Data Ditjen Pajak hingga Kamis 8 Desember 2016 mencatat angka deklarasi harta mencapai Rp3.989 triliun dan total tebusan sebesar Rp95 triliun.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam program ini sangat dinanti pemerintah. Dana yang terkumpul dari program ini akan dimanfaatkan bagi negara dan masyarakat, khususnya untuk pembangunan di berbagai sektor, utamanya infrastruktur.
Presiden pun membeberkan sejumlah data wajib pajak saat ini yang sudah mengikuti program amnesti pajak. Dari 20 juta total wajib pajak, baru 480 ribu yang mengikuti amnesti pajak. Jadi hanya 2,5 persen yang mengikuti program, sehingga sangat kecil.
Sejumlah capaian tersebut tentunya masih sangat kecil jika dibandingkan keberhasilan periode pertama amnesti pajak. Saat itu, hingga akhir periode 30 September 2016, angka deklarasi dana repatriasi mencapai Rp3.540 triliun dan total tebusan mencapai Rp97,1 triliun.
Keberhasilan periode pertama itu diklaim juga sebagai program amnesti pajak terbaik dan tersukses dari negara-negara lain di dunia yang pernah melakukan program tersebut. Kebijakan tersebut berhasil juga karena seluruh masyarakat ikut bergotong royong.
Hestu Yoga menambahkan, dengan melihat kecenderungan masyarakat lebih banyak datang ke kantor pelayanan pajak pada akhir-akhir periode, maka pada pada akhir Desember 2016 ada potensi pelaksanaan periode kedua amnesti pajak juga bisa berhasil.
Dia optimistis pada pekan ketiga Desember dan akhir tahun nanti WP akan berbondong-bondong mendatangi kantor pajak, terlebih pada bulan-bulan sebelumnya tren peningkatan jumlah tebusan sudah terlihat.
Adapun target yang disasar dalam periode kedua ini, Hestu mengakui masih didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Yakni, sebanyak 90 ribu wajib pajak UMKM sudah ikut tax amnesty dan 60 persennya adalah wajib pajak orang pribadi UMKM.
Sementara itu, untuk target periode ketiga nanti, yang berakhir Maret 2017, otoritas pajak Indonesia masih akan terus mengejar WP besar dan WP UMKM. Upaya tersebut akan diikuti sejumlah program tambahan agar partisipasi semakin meningkat.
Reformasi Perpajakan
Dalam mengimbangi upaya pengejaran target pajak 2016, menteri keuangan pun mengakui harus ada pembenahan di lingkungan internal Direktorat Jenderal Pajak. Upaya tersebut adalah terkait reformasi perpajakan di mana di dalamnya terdapat pembenahan sumber daya manusia dan perbaikan infrastruktur.
Ini sangat penting dilakukan, sebab wajib pajak butuh kepercayaan kepada institusi pajak yang mengelola dana mereka. Terlebih belum lama ini dalam upaya reformasi perpajakan, aparat penegak hukum melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak atas tuduhan penyuapan.
Mengatasi kondisi tersebut, menteri keuangan pun langsung segera melantik dua pejabat eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Pelantikan itu pun menjadi tanda bahwa pemerintah sedang menyiapkan tim percepatan reformasi perpajakan.
Menteri keuangan tergerak untuk melakukan pembenahan di lingkungan internal Direktorat Jenderal Pajak.
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Hadiyanto mengungkapkan, pembentukan tim reformasi perpajakan tersebut nanti akan diisi para ahli dan lintas sektor. Seperti perwakilan dari internal otoritas pajak maupun menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemerintah juga menegaskan akan membenahi sejumlah infrastruktur agar dapat efektif mengejar target pajak, seperti sistem keuangan online yang bisa diakses dan diberlakukan pada seluruh kantor Kementerian Keuangan dan Kantor Pelayanan Pajak di seluruh Indonesia.
Sri Mulyani mengungkapkan, dengan perbaikan sistem keuangan secara online itu diharapkan dapat meningkatkan transparansi di institusinya, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan penerimaan pajak.
Perlunya reformasi perpajakan tersebut juga ternyata memberikan efek positif bagi peringkat pembayaran pajak Indonesia yang naik 44 peringkat menjadi 104 dari 190 negara berdasarkan hasil studi Paying Taxes 2016 yang dikeluarkan Bank Dunia.
Sementara itu, Yustinus Pratowo mengungkapkan, upaya reformasi perpajakan memang sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan wajib pajak kepada otoritas pajak. Namun, pemerintah perlu sampaikan hal-hal itu secara konkret kepada publik agar bisa terukur.
Ia mencontohkan, dalam reformasi pajak itu pemerintah perlu membuat timeline, apa yang akan diubah, selesai berapa lama dan dampak terukur pada publik seperti apa. Jika itu akan membuat tarif pajak turun, perlu disampaikan agar WP tidak perlu lagi bertanya-tanya.
"Ini perlu disampaikan kepada publik, supaya dapat membentuk planning yang baik. Dengan demikian akan teredukasi dan partisipasinya tentu akan meningkat signifikan," ujar Yustinus.