Inikah Penyebab Intelektual Rentan Terjerumus Kasus Korupsi
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari 600 tersangka kasus korupsi, sebagian besar justru memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi.
Dari jumlah itu sebanyak 200 tersangka memiliki titel sarjana Strata-2, bahkan sebanyak 40 tersangka berpendidikan Strata-3. Seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, pengacara kondang OC Kaligis dan Rudi Rubiandini.
Tak hanya kalangan terdidik, korupsi bahkan menjerat kalangan pendidik, seperti mantan Rektor Universitas Airlangga (Unair), Surabaya Fasichul Lisan dan mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia, Tafsir Nurchamid. Selain itu juga ada mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari dan mantan Menpora, Andi Mallarangeng.
Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan, data ini bukan berarti kalangan terdidik rentan melakukan tindak pidana korupsi. Justru menurutnya, data tersebut menunjukkan kalangan terdidik semakin tinggi potensinya melakukan korupsi karena jabatannya.
"Bukan jadi rentan tapi makin tinggi kemungkinannya karena korupsi lebih banyak dilakukan para pengambil kebijakan yang biasanya memiliki pendidikan tinggi," kata Laode kepada wartawan, Selasa, 29 November 2016.
Laode mengungkapkan, bahwa terdapat sejumlah faktor yang membuat para pengambil kebijakan ini tergoda dan akhirnya terjerumus koruptif. Salah satunya karena masih rendahnya integritas insan terdidik tersebut.
"Mungkin masih mudah tergoda karena tidak memiliki dasar integritas yang baik dan karena sistem tata kelola pemerintahan di lingkungan mereka bekerja juga masih memungkinkan untuk korup," kata Laode.
Untuk itu, KPK selama ini tak hanya berupaya memberikan rekomendasi dalam tata kelola pemerintahan. Lebih dari itu, KPK berupaya menanamkan nilai-nilai antikorupsi dan memperkokoh integritas kalangan terdidik mulai dari lingkungan kampus.
Laode mengatakan, pihaknya sedang bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk mengadakan pendidikan antikorupsi dan mendirikan pusat kajian antikorupsi.
"Kami lagi bantu perguruan tinggi untuk mengadakan pendidikan anti korupsi, mendirikan pusat kajian anti korupsi, menjadikan Perguruan Tinggi sebagai pusat pergerakan antikorupsi nasional," ujarnya.
Selain itu, KPK juga sedang mengkaji Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) terkait pemilihan rektor. Dalam Pasal 7 Permenristekdikti nomor 1 tahun 2015 disebutkan, Menristek Dikti memiliki 35 persen dari total pemilih. Itu sangat berpotensi terjadi korupsi karenanya perlu dibenahi. Tak hanya itu, KPK juga tengah berupaya memperkuat Irjend Kemristek Dikti.
"Langkah ini bulan lalu sudah diinisiasi di Anti-Corruption Summit di UGM, sekarang lagi intensifkan pembicaraan dengan universitas dan kementerian.”
(mus)