Aturan Rancu, Kekerasan Seksual Tak Dapat Jaminan Hukum
- pixabay.com
VIVA.co.id – Staff Divisi Perubahan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta, Ahmad Luthfi Firdaus, menilai penindakan hukum kekerasan seksual terhadap perempuan, masih terkendala penafsiran di dalam Kitab Undang-undang Pidana.
Hal ini membuat tidak memberikan jaminan kepastian hukum. Karena, dalam KUHP diartikan bahwa kekerasan seksual atau asusila terjadi apabila ada kontak persetubuhan.
"Kalau di KUHP, kasus keasusilaan dan kekerasan seksual masih digeneralisir dengan persetubuhan. Artinya, terjadinya penetrasi alat kelamin kan?" Kata Luthfi di gedung Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis, 24 November 2016.
Padahal, menurutnya, bentuk kekerasan seksual yang dialami para korban bisa beragam, dan tak selalu melibatkan organ kelamin. Dia pun meminta aturan di KUHP dikembangkan, agar bisa mengikuti perkembangan.
"Definisinya (dalam KUHP) saat ini masih kuno, harusnya dikembangkan lagi. Padahal, kekerasan bentuknya macam-macam," kata Luthfi.
Sementara itu, berdasarkan catatan LBH Apik, ada 573 kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak-anak di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dari jumlah itu, 40 di antaranya merupakan kasus pemerkosaan.
Namun, dari 40 kasus itu, hanya ada empat yang ditindaklanjuti dan diputus pengadilan. Sedangkan 36 kasus lainnya masih diproses.
"Ada yang masih di tahap penyidikan di kejaksaan, bahkan juga ada di SP3 (dihentikan penyidikannya) karena dianggap kekurangan bukti," ujarnya.
Meski begitu, pihaknya belum akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi soal KUHP saat ini. Sebab saat ini, DPR sedang membahas naskah revisi KUHP, dan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual juga sudah masuk program legislasi nasional prioritas tahun 2016.