Ketika Pemilihan Rektor Perguruan Tinggi Rawan Suap
- ANTARA/Muhammad Iqbal
VIVA.co.id – Sistem pemilihan rektor di Perguruan Tinggi memiliki celah terjadinya praktik suap di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Komisioner Ombudsman, Laode Ida, mensinyalir praktek suap di dalam sistem pemilihan pejabat tertinggi di lingkungan universitas (Perguruan Tinggi) atau rektor karena Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2012 yang mengatur bahwa menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Sedangkan senat memiliki 65 persen hak suara.
"Saya kira ketentuan itu memang celah yang digunakan oleh pejabat-pejabat yang merasa dekat dengan Menteri Pendidikan untuk melakukan praktik suap dalam pemilihan rektor ya," kata Laode usai menghadiri sebuah diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 29 Oktober 2016.
Menurutnya, meskipun terdapat istilah otonomi kampus dalam sistem pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, ketentuan suara (vote) 35 persen dari total pemilih yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan, peluang itu tak ayal digunakan untuk memperoleh kekuasaan dalam jabatan tertinggi di kampus-kampus negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek dan Kebudayaan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Amich Alhumami, membenarkan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu memang dapat digunakan sebagai celah oleh orang-orang di lingkungan universitas negeri yang ingin mendapatkan posisi penting di dalam kampus.
"Tapi kalau saya melihat masalahnya juga ada pada orang-orang yang ingin jadi rektornya. Karena ini masalah karakter seseorang," kata Amich.
(ren)