Forum 65 Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Mantan Presiden RI, Soeharto (tengah).
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id - Forum 65, wadah organisasi korban pelanggaran HAM berat 1965/1966, bersama International Peoples Tribunal (IPT) 65 meminta Kementerian Sosial untuk segera mencabut nama mantan Presiden Soeharto dari daftar penerima gelar pahlawan nasional tahun 2016. Soeharto masuk dalam salah satu nama dari empat tokoh yang memenuhi syarat administratif untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Prabowo Bidik Ekonomi RI Tumbuh 8 Persen, Airlangga Ungkap Indonesia Pernah Zaman Soeharto

"Masuknya Soeharto untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional jelas telah melukai rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya korban dan keluarga korban tragedi 1965/1966," ujar koordinator Forum 65, Bonnie Setiawan, di Kemensos, Jakarta Pusat, Kamis, 27 Oktober 2016.

Bonnie menerangkan, di dalam pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, disebut bahwa gelar pahlawan nasional diberikan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki rasa kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, keteladanan, keobjektifan dan kesetaraan.

Sederet Perkataan Gus Dur yang Kini Jadi Kenyataan, No 5 Baru Terjadi

Tak hanya itu, syarat lainnya pada pasal 3, disebut bahwa yang bersangkutan juga harus memiliki keteladanan bagi setiap orang dan mendorong semangat melahirkan karya terbaik bagi kemajuan bangsa dan bernegara.

Bahkan, pada pasal 26 Undang-Undang yang sama juga disebutkan bahwa segala langkah yang diupayakan oleh pihak bersangkutan harusnya memiliki tujuan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta bermanfaat bagi keejahteraan masyarakat luas atau meningkatnya harkat dan martabat bangsa.

Jelang Dilantik, Prabowo Ungkapkan Syukur ke Semua Presiden dari Soekarno hingga Jokowi

"Jadi jika kita merujuk pada beberapa persyarakatan umum dan khusus di atas, maka sikap Kemensos memasukan nama Soeharto dalam bursa penerima gelar pahlawan nasional amat kuat menyalahi ketentuan hukum yang ada," kata Bonnie.

Kemensos juga, kata Bonnie, jelas telah menyalahi TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta berbagai komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dalam naskah Nawacita dan RPJMN 2014-2019 termaktub hendak memajukan penegakan HAM di Indonesia.

"Kemensos dalam hal ini jelas juga telah menutup mata terhadap berbagai fakta tentang keterlibatan Soeharto sebagai aktor utama dalam berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM tentang peristiwa 1965/1966 dan hasil keputusan sidang International Peoples Tribunal 65 di Den Haag tahun lalu," kata dia.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kemensos, Hartono Laras, mengatakan bahwa sebetulnya, usulan untuk memasukkan nama Soeharto direkomendasikan oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah.

"Jadi kami hanya memfasilitasi menurut UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan dibantu oleh Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Usai itu dilanjutkan ke Dewan Gelar yang dipimpin Menteri Pertahanan. Kami tidak masuk dalam tim tersebut," ujar dia.

Dia mengakui, nama Soeharto memang pernah diusulkan untuk menerima gelar pahlawan nasional pada tahun 2010 lalu, namun, usulan itu dibatalkan. Untuk tahun ini, nama mantan presiden yang diduga terlibat dalam pembantaian massal pada masa silam itu tidak diajukan.

"Keputusannya di Istana. Tahun ini Kemensos mengusulkan lima nama yang baru dan tiga nama yang sebelumnya. Kemensos tak bisa apa-apa karena semua diurus Dewan Gelar sebagaimana Perpres 35/2010," ujar dia.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya