Eks Sekretaris MA Akui Pernah Bicarakan Perkara PT Kymco
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menghadirkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam persidangan terdakwa Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, Rabu 26 Oktober 2016.
Dalam kesaksiannya, Nurhadi mengakui, dan menjelaskan awal pertemuannya bersama Chairman PT Paramount Enterprise, Eddy Sindoro, sampai akhirnya terjadi praktik suap untuk memuluskan sebuah perkara di PN Jakpus.
"Saya kenal Eddy Sindoro semasa sekolah di SMU, ketemu di Semarang? Awalnya itu, sudah lama, setelah itu enggak pertemu ketemu," kata Nurhadi bersaksi di depan majelis hakim.
Barulah pada 2008, sambung Nurhadi, dia bertemu kembali dengan Eddy Sindoro di sebuah kawasan pusat perbelanjaan, ketika sedang bersama keluarga. Meski begitu, Nurhadi membantah adanya pembicaraan soal pemulusan perkara ketika itu.
"Saya saja, sama sekali enggak ngerti dia (Eddy Sindoro) posisinya apa. Intinya, dia di Paramount saja. Jadi, sama sekali tidak membicarakan masalah perkara, pertemuan itu cuma cerita-cerita soal keluarga, tentang kesehatan, mungkin punya hobi yang sama tentang kendaraan tua," kata Nurhadi.
Meski begitu, Nurhadi tak menampik pernah berbincang bersama Eddy Sindoro, berkaitan soal kasus peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana dengan Kwang Yang Motor Co LtD (PT Kymco). Kedua perusahaan itu, merupakan grup PT Paramount. Namun, klaim Nurhadi tak ada permintaan dari Eddy Sindoro supaya ia menunda proses aanmaning itu.
"Dari antara ketemu (Eddy) pernah sekali. Dia katakan, ada permasalahan Kymco yang enggak selesai-selesai. Tetapi, saya tidak tanggapi sama sekali. Beliau juga tidak minta ke saya (untuk diurus)," kata Nurhadi.
Dalam sidang sebelumnya, pegawai bagian legal PT Artha Pratama Anugerah (grup Paramount) yang juga adalah orang kepercayaan Eddy Sindoro, Wresti Kristian Hesti mengatakan bahwa bosnya pernah mengatakan perkara Kymco sudah diurus Nurhadi. Bahkan, ia mengaku pernah diperintahkan untuk mengirim dokumen perkara Kymco ke rumah Nurhadi.
Amplop perkara
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menanyakan hal itu kepada Nurhadi. Namun, lagi-lagi Nurhadi berkilah, meskipun ia mengakui pernah mendapatkan kiriman paket amplop yang berisi berkas perkara Kymco. "Saya tidak tahu siapa yang kirim, saya tidak tahu," ujar Nurhadi.
Mendengar itu, Jaksa KPK kembali mencecarnya. Jaksa mengingatkan, kalau Nurhadi sudah disumpah di bawah kitab suci Alquran. Kemudian, jaksa menyinggung berkas yang Nurhadi sobek, saat tim petugas KPK menggeledah rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Penggeladahan itu terjadi pada 20 April 2016.
Nurhadi mengatakan bahwa ia menerima amplop itu pada 19 April 2016. Menurut dia, ketika itu ia baru pulang kerja dan menemukan dua amplop berwarna coklat di atas meja rumahnya di lantai dua. Satu berisi dokumen tebal, yang satunya tipis.
"Saya buka, yang tebal hanya baca sepintas tertera foto kopi putusan perkara Bank Danamon. Saya masuk ke kamar, lalu saya robek. Karena saya tidak ada urusan sama begitu-begitu," terangnya.
Karena itu, ia mengklaim heran saat di-BAP KPK soal dokumen-dokumen yang telah dirobek tadi ditunjukan penyidik KPK menjadi tiga plastik besar. "Pas rekontruksi, kok jadi banyak dan bukan putusannya Danamon," kata Nurhadi.
Â
Untuk diketahui, Edy Nasution didakwa menerima suap Rp1,7 miliar dari Eddy Sindoro melalui anak buahnya Doddy Aryanto Supeno. Uang itu diterima Edy secara bertahap.
Uang itu juga diberikan agar Edy membantu pengurusan sejumlah perkara yang menjerat anak-anak perusahaan Lippo Group. Di antaranya PT Jakarta Baru Cosmopolitan, PT Paramount Enterprise Internasional, PT Mitropolitan Tirta Perdana dan PT Across Asia Limited.
Dalam perkara ini, nama Nurhadi sering muncul. Nurhadi disebut-sebut sebagai promotor yang membantu urus perkara-perkara Lippo Group tersebut. (asp)