Mantan Ketua MK: Korban Tragedi 65 Harus Berani Lapor
- VIVA.co.id/ Zahrul Darmawan.
VIVA.co.id - Kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966, hingga saat ini masih terus menjadi sorotan bagi beberapa golongan dan lembaga terkait, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, kekerasan massal dan diskriminalisasi sistematik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia.
Menurut mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqie, tidak sedikit dari korban kekerasan, sampai sekarang, masih mengalami pengucilan, pembatasan dan pembedaan dalam segala hal. Termasuk ketika mereka, yang kebanyakan sudah lansia dan hidup miskin ini, ingin mendapatkan akses layanan publik dan program-program pembangunan.
Hal tersebut dikarenakan adanya stigma negatif yang diberikan kepada para eks tahanan politik atau para korban kasus kekerasan yang terjadi di tahun 1965. Pemulihan karena ketakutan dari para korban inilah yang seharusnya menjadi fokus utama bagi pemerintah, mempercepat restorasi sosial Indonesia.
Dalam dialog nasional yang diadakan di Wisma Antara, Jalan Medan Merdeka Selatan nomor 17, Jakarta Pusat, ketua MK pertama Indonesia tersebut menyampaikan bahwa kasus berkelanjutan ini merupakan bagian dari peradaban nasional.
Menurutnya, pelaporan kasus kekerasan masa lalu kepada MK, dianggap sebagai upaya pemulihan korban. Namun, MK selalu mendapatkan tafsir beragam karena kasus tersebut, seolah MK ini menjadi sesuatu yang konkrit. Padahal, kata Jimly, para korban seharusnya bisa lebih berani dalam mengungkap kebenaran.
"Hal penting yang bisa kita ambil dari kasus ini adalah ketika kita bisa melihat pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan berani melaporkannya di masa kini," ujar Jimly, saat memberikan keynote speech tentang kebijakan perlakuan khusus sebagai mandat Konstitusi RI, Rabu, 26 Oktober 2016.
Dalam dialog interaktif terfokus tersebut, dihadiri juga oleh Puan Maharani, Deputi VII Kemenko PMK, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Mantan Wali Kota Palu, Wakil Bupati Sikka, Komnas Perempuan, Ketua PBNU, Dirjen Kemendikbud, Komisi XI DPR, dan KKPK (Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran).
Laporan: Afra Augesti