Penerapan Qanun Jinayat Diminta Ditinjau Ulang

Terpidana pelanggar peraturan daerah (qanun) Syariat Islam (tengah) menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh, Selasa (1/3/2016)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

VIVA.co.id – Implementasi Peraturan Daerah No.6/2014 tentang Hukum (Qanun) Jinayat dinilai sangat memaksakan kehendak, minim pembahasan, partisipasi, dan sosialisasi.

Oleh karena itu, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menuntut pemerintah pusat untuk mengkaji Perda tersebut dan memoratorium implementasinya.

Ketua Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Nia Syarifudin, mengungkapkan bahwa untuk menerapkan hukum syariah di Indonesia butuh pengkajian mendalam dan waktu yang panjang.

Di sisi lain, Aceh pun terdiri dari masyarakat yang majemuk.

"Qanun Jinayat tidak cukup ruang dan waktu untuk diterapkan. Kualitas waktu dan pembahasan sangat minim," kata Nia, di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu, 23 Oktober 2016.

Survei Organisasi Solidaritas Perempuan 2015, menyebutkan terdapat 1.161 dari 2.386 (97 persen) perempuan Aceh yang ada di Imarah, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, dan wilayah lainnya di Aceh, tidak mendapatkan informasi mengenai penerapan Qanun Jinayat.

"Pemerintah harus menghentikan ini, ditinjau ulang. Lebih baik nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya mewarnai. Karena penerapan Qanun Jinayat yang dikatakan bersyariat Islam, kenyataannya tidak mencerminkan Islam yang rahmatan lil 'alamin," terangnya.

Lima tuntutan

Mengenal Bamboo Dome, Kearifan Lokal Tempat Santap Siang Pemimpin dan Delegasi G20

Tak hanya itu, Nia menuntut lima hal kepada pemerintah terkait dengan hukuman ini. Pertama, Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung, melakukan peninjauan kembali Qanun Jinayat secara keseluruhan.

Kedua, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan evaluasi dan merevisi Qanun Jinayat yang terbukti diskriminatif. Ketiga, masyarakat aceh di setiap lapisan untuk terus mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat yang sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran.

Kolom Prof Ahmad Zainul Hamdi: Kearifan Lokal dan Jebakan Intoleransi

Keempat, masyarakat Indonesia secara umum juga turut mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat dan kebijakan diskriminatif lainnya di daerah di Indonesia. Sehingga, kebijakan diskriminatif tidak semakin menyebar ke daerah-daerah lainnya.

Kelima, organisasi internasional untuk terus mengawasi dan melakukan tindakan dalam menghentikan berbagai kebijakan diskriminatif, khususnya Qanun Jinayat.

Kemendikbudristek Dorong Pentingnya Kombinasi Kearifan Lokal dan Sains

Dalam satu tahun masa pemberlakuan Qanun Jinayat, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat dan sedikitnya 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh sepanjang Januari-September 2016.

Lima besar daerah Aceh yang memutus perkara jinayat terbanyak adalah Banda Aceh sebanyak 40 perkara, Kualasimpang 29 perkara, Kutacane 24 perkara, Blangkejeren dan Jantho 21 perkara, serta Langsa 17 perkara.

Kenduri Swarnabhumi 2024

Kenduri Swarnabhumi 2024 Diyakini Dorong Kelestarian Sungai Batanghari dan Kearifan Lokal

Kenduri Swarnabhumi, rangkaian kegiatan kebudayaan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari memasuki tahun ketiga sejak pertama kali digelar pada 2022.

img_title
VIVA.co.id
10 Juni 2024