Penerapan Qanun Jinayat Diminta Ditinjau Ulang
- ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
VIVA.co.id – Implementasi Peraturan Daerah No.6/2014 tentang Hukum (Qanun) Jinayat dinilai sangat memaksakan kehendak, minim pembahasan, partisipasi, dan sosialisasi.
Oleh karena itu, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat menuntut pemerintah pusat untuk mengkaji Perda tersebut dan memoratorium implementasinya.
Ketua Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Nia Syarifudin, mengungkapkan bahwa untuk menerapkan hukum syariah di Indonesia butuh pengkajian mendalam dan waktu yang panjang.
Di sisi lain, Aceh pun terdiri dari masyarakat yang majemuk.
"Qanun Jinayat tidak cukup ruang dan waktu untuk diterapkan. Kualitas waktu dan pembahasan sangat minim," kata Nia, di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu, 23 Oktober 2016.
Survei Organisasi Solidaritas Perempuan 2015, menyebutkan terdapat 1.161 dari 2.386 (97 persen) perempuan Aceh yang ada di Imarah, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, dan wilayah lainnya di Aceh, tidak mendapatkan informasi mengenai penerapan Qanun Jinayat.
"Pemerintah harus menghentikan ini, ditinjau ulang. Lebih baik nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya mewarnai. Karena penerapan Qanun Jinayat yang dikatakan bersyariat Islam, kenyataannya tidak mencerminkan Islam yang rahmatan lil 'alamin," terangnya.
Lima tuntutan
Tak hanya itu, Nia menuntut lima hal kepada pemerintah terkait dengan hukuman ini. Pertama, Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Mahkamah Agung, melakukan peninjauan kembali Qanun Jinayat secara keseluruhan.
Kedua, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan evaluasi dan merevisi Qanun Jinayat yang terbukti diskriminatif. Ketiga, masyarakat aceh di setiap lapisan untuk terus mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat yang sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran.
Keempat, masyarakat Indonesia secara umum juga turut mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat dan kebijakan diskriminatif lainnya di daerah di Indonesia. Sehingga, kebijakan diskriminatif tidak semakin menyebar ke daerah-daerah lainnya.
Kelima, organisasi internasional untuk terus mengawasi dan melakukan tindakan dalam menghentikan berbagai kebijakan diskriminatif, khususnya Qanun Jinayat.
Dalam satu tahun masa pemberlakuan Qanun Jinayat, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara jinayat dan sedikitnya 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh sepanjang Januari-September 2016.
Lima besar daerah Aceh yang memutus perkara jinayat terbanyak adalah Banda Aceh sebanyak 40 perkara, Kualasimpang 29 perkara, Kutacane 24 perkara, Blangkejeren dan Jantho 21 perkara, serta Langsa 17 perkara.