Menguak Kejanggalan Hukuman Mati Mary Jane
- REUTERS/Ignatius Eswe
VIVA.co.id – Tentu masih ingat Mary Jane Fiesta Veloso, buruh migran berkewarganegaraan Filipina yang divonis hukuman mati atas tindakannya menjadi perantara dalam jual beli narkotika oleh Pengadilan Negeri Sleman, 11 Oktober 2010.
Wanita itu batal dihukum mati dalam eksekusi jilid III di Pulau Nusakambangan. Padahal dia sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Besi sejak 2015.
Namun, kuasa hukumnya, Agus Salim, menilai dalam putusan hukuman mati tersebut terdapat sejumlah kejanggalan. Ini patut menjadi perhatian bagi pemerintah.
"Ini akan kami jadikan dasar sebagai bagian dari menunggu proses hukum," kata Agus dalam diskusi di Kantor LBH, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Oktober 2016.
Sementara, guru besar Antropologi dan Ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sulistyowati Irianto, yang hadir dalam diskusi itu, menilai Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia (buruh migran) dengan pola kasus narkotika.
Menurut Sulistyowati, selama menjalani proses hukum, Mary tak mendapatkan ahli bahasa untuk membantu proses pemeriksaannya. "Karena hukum itu bukan benda mati seperti fisikawan yang kerja di laboratorium. Hukum itu adalah teks, yang bikin manusia, sangat multitafsir," kata Sulistyowati.
Tak hanya itu, kekuatan bukti dari saksi penyidik masih kurang. Selama proses hukum berjalan, Mary tidak didampingi penasihat hukum, dia hanya didatangi kuasa hukum saat hari ke dua untuk sekadar tandatangan berita acara pemeriksaan (BAP).
Mary ditangkap di Bandara Yogyakarta karena membawa narkoba jenis heroin seberat 5,7 kilogam sekitar bulan April 2010.
(ren)