- VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
VIVA.co.id – Empat orang wanita setengah baya berjilbab asyik bercakap sambil menyuruput teh hangat di ruang tunggu. Tak jauh dari situ, duduk seorang wanita lainnya dalam balutan busana dan jilbab syar'i. Silvi, demikian nama wanita tersebut. Sehari-harinya, ia bertugas sebagai guest relations officer di Hotel Sofyan Betawi.
Penampilan Silvi berbalut busana syar’i bisa dikatakan pemandangan langka di industri perhotelan. Namun hal ini cukup mafhum tatkala melongok konsep hotel yang terletak di kawasan elite, Menteng tersebut. Hotel berarsitektur rumah adat Betawi itu memang mengusung konsep syariat, yang artinya menerapkan aturan sesuai hukum agama Islam.
Pada 2015, hotel bintang tiga ini menyabet gelar World Best Halal Family Frendly Hotel di ajang Abu Dhabi World Halal Travel Summit. Menyisihkan sederet hotel ternama lainnya, termasuk sebuah hotel bintang empat di Dubai.
Meski tak seglamor para pesaingnya, Hotel Sofyan Betawi mampu memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan juri. Kriteria tersebut, yakni key acceptance, unique characteristic, dan company profile.
Meski istilah halal tourism atau pariwisata halal gaungnya di dunia baru terdengar beberapa tahun terakhir, Hotel Sofyan Betawi sesungguhnya sudah memperkenalkan konsep tersebut sejak tahun 1990-an.
“Yang pasti ketika itu bukan karena pasar. Jadi secara manajemen, ini sebagai product oriented. Kita bikin produk untuk meng-create market baru dengan konsep halal,” ujar pemilik Hotel Sofyan Betawi, Riyanto Sofyan, saat berbincang dengan VIVA.co.id di Ciputra Artpreneur, Ciputra World, Kamis, 6 Oktober 2016.
Pada perjalanannya, dia mencontohkan, Hotel Sofyan Betawi pernah memiliki live music dan dan diskotik sebagai fasilitas hiburan bagi pengunjung. Setelah mengusung konsep syariat, pada 1998 hiburan tersebut ditiadakan.
Seiring dengan waktu, Hotel Sofyan terus menguatkan komitmennya mengusung konsep halal. Pada 1999-2000, diputuskan tidak lagi menjual semua jenis minuman beralkohol.
"Alhamdulillah penjualan tetap meningkat 10 persen," ucapnya.
Sebagai hotel syariat, Hotel Sofyan Betawi mengacu pada tiga poin utama, yakni makanan halal, tempat beribadah, dan tempat bersuci yang memadai. “Jadi tidak harus ada kaligrafi-kaligrafi Arab juga sebenarnya,” kata Direktur Pengembangan Bisnis Hotel Sofyan, Hasya Amana.
Pada 2003, Hotel Sofyan Betawi berhasil mengantongi sertifikasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sertifikasi ini semakin mengokohkan citra Hotel Sofyan Betawi sebagai hotel syariat di Indonesia.
Jadi program pemerintah
Kehadiran hotel syariat di Indonesia, seperti Hotel Sofyan memang sudah berumur lebih dari satu dekade. Namun, keseriusan pemerintah mengembangkan hotel syariat di Tanah Air baru dimulai beberapa tahun terakhir.
Melirik potensi pasar Muslim yang begitu besar, pemerintah akhirnya tak hanya sekadar mengembangkan hotel syariat saja. Tercetuslah sebuah konsep halal tourism atau pariwisata halal, yang juga mencakup restoran dan industri pariwisata lainnya. Dinamakan pariwisata halal, agar lebih mudah diterima masyarakat Muslim dan non-Muslim.
“Secara prinsip pariwisata halal itu bagaimana para wisatawan datang ke suatu wilayah, dia mendapatkan kriteria baik itu di aksesnya, dari segi amenitasnya dan di atraksinya memenuhi kriteria sesuai dengan syarat wisatawan Muslim,” ujar Asisten Deputi Pembangunan Destinasi Wisata Budaya Kementerian Pariwisata, Lokot Ahmad Enda.
Lokot menjelaskan, istilah yang digunakan untuk menggambarkan pariwisata halal berbeda-beda di setiap negara. Thailand misalnya, ia memilih istilah Muslim Friendly. Sementara Turki dan Malaysia menggunakan istilah Muslim Tourism.
Diakui Lokot, Indonesia memang baru melirik potensi pariwisata halal pada 2012. Ketika itu, pemerintah memandang bahwa pangsa pasar pariwisata halal sangat besar. Namun, jumlah wisatawan Muslim yang berkunjung ke Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Pada tahun lalu saja, jumlah kunjungan wisatawan muslim di Malaysia sudah mencapai enam juta, sementara Indonesia baru dua juta.
“Pangsa pasarnya cukup besar. Kalau di Asia, ada Malaysia, Brunei Darussalam. Yang paling banyak datang itu dari negara Arab, seperti Qatar, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman, Iran, dan Irak,” ucapnya.
Guna mengejar ketertinggalan, Kementerian Pariwisata membentuk Tim Percepatan Halal Tourism yang diketuai Riyanto Sofyan. Tim bertugas menyusun rencana strategis pengembangan pariwisata halal. Hajatan besar pun digelar guna mendukung rencana ini, seperti Kompetisi Anugerah Pariwisata Halal Terbaik. Di tahun keduanya, Kompetisi Anugerah Pariwisata Halal Terbaik memasukkan 15 kategori.
“Ada hotel, restoran, travel agent, airport, mal, banyak semua yang berkaitan dengan industri pariwisata,” kata Sofyan.
Salah satu hotel yang meraih penghargaan dalam Kompetisi Anugerah Pariwisata Halal Terbaik tahun ini adalah The Rhadana. Hotel yang terletak di Kuta, Bali itu, mengantongi penghargaan sebagai Friendly Family Hotel atau Hotel Ramah Keluarga.
“Dari awal berdiri The Rhadana ini saya memang sudah punya tagline, the first modern moslem's friendly with MUI certificate in Bali,” ujar Chairman Hotel The Rhadana, Rainier H Daulay.
Pengalaman Rainier mengelola sebuah hotel yang menyuguhkan nuansa Islam sebetulnya sudah dimulai sejak 16 tahun lalu. Saat itu, ia membangun hotel The Oasis Lagoon di Sanur. Masing-masing kamarnya dilengkapi dengan Alquran dua bahasa, Arab dan Indonesia serta sajadah dan mukena.
Menurut Rainier, ada cerita unik menyertai perjalanan hotel miliknya. Nyaris setiap hari, Alquran yang diletakkan di kamar hotelnya raib. Hal itu terjadi tiga tahun lamanya. Menariknya, Rainier tak mempermasalahkan hal tersebut.
“Subhanallah 99 persen Alquran di kamar-kamar hotel itu justru hilang karena dibawa oleh tamu yang notabene adalah turis asing yang mayoritas non-Muslim,” kata pria lulusan Universitas Indonesia ini.
Tiga tahun lalu, Rainier membangun The Rhadana. Seperti The Oasis Lagoon, hotel barunya itu juga dilengkapi dengan Alquran, mukena, sarung, dan sajadah. Bahkan, setiap kamarnya dilengkapi arah kiblat serta jadwal salat sesuai waktu setempat.
Namun di sisi lain, interior The Rhadana tidak memperlihatkan nuansa Arab ataupun kaligrafi. Setiap kamarnya, justru menerapkan konsep tematik, mulai dari kamar DJ hingga Bob Marley.
Meski mayoritas penduduk Bali beragama non-Muslim, diakui Rainier, kunjungan turis dari negara-negara Timur Tengah ke Pulau Dewata cukup tinggi. Ia mencontohkan bahwa saat ini terdapat dua penerbangan langsung dari Timur Tengah ke Bali setiap harinya.
“Berarti ada 14 flight seminggu penerbangan langsung dari Timur Tengah. Belum yang one stop service transit di Kuala Lumpur, Singapura itu puluhan. Itu berarti banyak pasar baru kan?” ucap Rainier.
“Sekarang saya katakan halal adalah lifestyle. Halal itu adalah opportunity yang saya lakukan sebelumnya dan tanpa saya sadari itu terjadi hari ini.”
General Manager The Rhadana Kuta, Budiman Tanto Widjaja menambahkan, turis mancanegara yang menginap di The Rhadana Kuta saat ini kebanyakan berasal dari Australia, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Rusia, Belanda, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura. The Rhadana Kuta sendiri, ujarnya, tidak menargetkan khusus wisatawan Muslim saja.
“Target pasar kita semuanya, Muslim dan non-Muslim. Seluruh pegawai kita tidak mengenakan busana Muslim. Justru mereka mengenakan pakaian tradisional adat Bali. Itulah keunikannya. Bahkan, 95 persen pegawai hotel kami adalah mereka yang beragama Hindu,” kata Budiman.
Satu lagi tempat yang memperoleh penghargaan Kompetisi Anugerah Pariwisata Halal Terbaik 2016 adalah Bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh. Bandara yang pernah dihantam tsunami pada 2004 ini terpilih sebagai Airport Ramah Wisatawan Muslim Terbaik.
Sekilas, kegiatan di Bandara Sultan Iskandar Muda tidak ubahnya seperti bandara pada pada umumnya. Hiruk pikuk para penumpang, para penjemput dan kegiatan ekonomi mewarnai salah satu bandara bertaraf internasional di Indonesia tersebut.
Namun, jika di perhatikan lebih detail, bandara yang melayani rute domestik dan internasional ini memiliki arsitektur yang menarik. Perpaduan antara arsitektur Islam, modern dan nilai-nilai lokal di bagian interior, berbaur menjadi satu kesatuan yang indah.
Tampak depan, sangat terlihat ciri khas Aceh, tiga kubah yang cukup besar persis sama dengan kubah masjid, ini melambangkan agama, budaya dan pendidikan. Membuat kesan bandara yang mengambil nama seorang ulama sekaligus panglima perang Aceh, seperti salah satu masjid di daerah tersebut.
Nuansa Islami yang cukup kental tampak di setiap sudut, mulai dari posko pengambilan karcis parkir, bagi perempuan mengenakan jilbab, begitu pula petugas perempuan di counter loket tiket maskapai.
Sementara di halaman teras Bandara Sultan Iskandar Muda tersusun rapi kantin-kantin yang menyediakan makanan, mulai dari kopi khas Aceh hingga kue tradisional Aceh merupakan hal yang wajar. Setiap kantin yang ada di bandara itu sudah lama mengantongi label halal yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh.
“Ya kita meminta kepada pemilik usaha kantin-kantin itu mengurus label halal, sekarang semua mereka sudah ada label halal dari MPU Aceh,” kata General Manager (GM) PT Angkasa Pura II Bandara Sultan Iskandar Muda, Surahmat, Kamis, 6 Oktober 2016.
Menurut Surahmat, izin label halal yang dimiliki setiap warung atau kantin itu yang menjadi unggulan pelayanan Bandara Sultan Iskandar Muda. Selain konstruksi bangunan yang memiliki nuansa yang Islami ini juga menjadi perhatian khusus bagi para tamu yang baru menginjakkan kaki di bandara ini.
“Bangunan kita tepat sekali dengan wilayah pariwisata yang Islami, bangunan yang bernuansa Islami ini kita bisa terbantu,” tambah Surahmat.
Saat penilaian Parawisata Halal 2016 ini, Bandara Sultan Iskandar Muda bersaing ketat dengan Bandara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat dan Bandara Internasional Lombok.
Potensi dan tantangan
Potensi industri halal kini dikembangkan tak hanya sebatas pada sektor pariwisata. Seperti yang diungkapkan oleh Rainier, halal merupakan sebuah gaya hidup. Itulah yang terlihat pada gelaran Internasional Halal Lifestye Expo & Conference yang digelar pada 6-8 Oktober 2016.
Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center, Sapta Nirwandar menjelaskan, gelaran ini merupakan salah satu ajang promosi wisata halal di Indonesia. Mulai dari makanan, kosmetik, pakaian muslimah, perbankan syariah, hingga stan berbagai destinasi wisata dan hotel berbasis syariah
Promosi ini dinilai penting karena potensi wisatawan muslim di dunia sangat besar. Dan Indonesia masih sangat berpeluang untuk menjadi destinasi utama di dunia untuk wisata halal.
"Ada 300 juta turis mancanegara dari negara-negara Islam seluruh dunia. Kalau US$1.000 saja spending-nya berarti sudah US$3 miliar dari sektor itu. Jadi memang sangat besar juga dari sektor itu," ungkapnya.
Dalam kesempatan berbeda, Staf Ahli Menteri Pariwisata Bidang Kemaritiman Syamsul Lussa menjabarkan, sedikitnya ada 12 produk dalam negeri yang menjadi fokus pengembangan wisata halal di Indonesia. Antara lain, produk makanan, kosmetik, hijab hingga beberapa bidang usaha jasa.
"Misalnya yang selama ini orang nilai negatif, seperti pijat. Bisa kok menjadi halal dan baik, ada kok caranya dan hukumnya," katanya.
Menurutnya, tren wisatawan Muslim yang mencari produk-produk halal menjadi daya tarik bagi pemerintah untuk mengembangkan wisata halal. Saat ini menurut, populasi penduduk Muslim di seluruh dunia mencapai 1,6 miliar jiwa dengan 35 persen di antaranya warga Muslim yang produktif dan konsumtif.
"Ini yang kita sasar," ujar dia.
Rainier menuturkan, dalam mengembangkan pariwisata halal dibutuhkan peran serius pemerintah. Ia berharap, pemerintah bisa mendanai para pemenang Kompetisi Anugerah Pariwisata Halal Terbaik 2016 yang akan dikirim ke UEA untuk mengikuti ajang World Halal Tourism Awards dalam World Halal Travel Summit.
“Kalau enggak dibiayai buat apa kompetisi nasional kemarin? Kalau mau daftar sendiri saja tanpa harus ikut kompetisi nasional, bisa kan?” kata Rainier.
Ia optimistis, Indonesia bisa menang di ajang bergengsi itu jika pemerintah all out. Dengan kemenangan itu diharapkan turis mancanegara dan turis muslim di dunia semakin tertarik datang ke Indonesia.
Kementerian Pariwisata mengatakan, peran pemerintah jelas dalam hal pengembangan wisata halal di Indonesia saat ini. Sedikitnya ada tiga hal yang disiapkan untuk mendukung perkembangannya, pertama dari sisi regulasi.
Kedua, pemerintah akan memfasilitasi dan akan memberi insentif kemudahan-kemudahan di industri pariwisata. Ditegaskan, bukan hanya untuk kepentingan konsumen, tapi untuk para stakeholder industri pariwisata
"Kita berikan kemudahan-kemudahan untuk mereka berbisnis, bagaimana mereka mempromosikan produk-produknya," ungkap Lokot.
Ketiga, pemerintah akan melakukan penetrasi pasar, sehingga bisnis ini bisa berkembang. Artinya, ketika semua sektor swasta tidak ada yang berani untuk terjun buka jalan, maka pemerintah masuk ke situ sebagai pelopor.
Dengan upaya-upaya tersebut dia meyakini, dalam ajang World Halal Tourism Awards 2016 di Abu Dhabi Desember mendatang, banyak sektor usaha pariwisata halal di Indonesia dapat mengantongi predikat terbaik lebih banyak dibanding tahun lalu. (ms)