Paket Reformasi Hukum Diharapkan Perbaiki Aspek Hukuman Mati
- Reuters/Morteza Nikoubazl
VIVA.co.id – Institute for Criminal Justice Reform menyarankan Presiden Joko Widodo untuk memulai reformasi bidang hukum, dengan cara menerapkan kebijakan moratorium terhadap eksekusi mati. Kemudian, meminta Kejaksaan Agung agar tidak mengajukan tuntutan pidana mati sampai sistem peradilan pidana dibenahi.
Saran ini disampaikan menyambut rencana pemerintah yang tengah menyiapkan paket reformasi bidang hukum. Salah satu tujuan paket reformasi ini adalah menguatkan pondasi bagi akselerasi pembangunan lewat hukum, yang memberikan jaminan keadilan. Dari tujuan itu, terdapat tiga hal penting yang menjadi perhatian pemerintah yakni instrumen hukum, aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
Hal ini disampaikan dalam rangka menyambut perayaan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia, yang diperingati setiap 10 Oktober.
“Sebagai ancaman pidana yang paling tinggi, maka penegakan hukum dalam kasus-kasus hukuman mati haruslah memiliki standar yang jauh berbeda dari kasus-kasus pada umumnya. Jaminan atas pendampingan hukum yang efektif, tidak ada penyiksaan, standar pembuktian yang kuat sampai dengan kepastian hukum dalam konteks undang-undang harus dijamin,” ujar Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, melalui siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat, 7 Oktober 2016.
Menurutnya, fakta menunjukkan banyak masalah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terkait kasus-kasus pidana mati.
Sejalan dengan itu, ICJR juga meminta Presiden menginventarisasi seluruh peraturan, yang tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan. Untuk hal ini, Jokowi dapat berkoordinasi dengan Mahkamah Agung agar bisa menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dan perlindungan hak asasi manusia.
“Presiden Jokowi juga harus mengevaluasi seluruh jajaran aparat penegak hukum, khususnya terkait keadaan unfair trial yang marak terjadi dalam kasus-kasus pidana mati,” ucapnya.
Selain itu, Presiden dapat memerintahkan dilakukan peninjauan terhadap beragam kasus terpidana mati, untuk memeriksa ada tidaknya indikasi persidangan yang tidak adil terjadi.
Dalam catatan ICJR, beragam contoh yang dianggap sebagai perlakuan tidak adil pada persidangan adalah sikap Mahkamah Agung yang menentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatasan Peninjauan Kembali. Kemudian pada eksekusi gelombang ketiga, Kejaksaan Agung tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih dalam proses pengajuan grasi. Selain itu, sulitnya mengakses surat Keputusan Presiden mengenai grasi yang dia nilai sebagai dokumen publik.
Masalah lain yang menjadi perhatian adalah terselipnya permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terpidana mati Zainal Abidin. Sehingga, PK Zainal baru diperiksa setelah 10 tahun didaftarkan. Lalu keputusan dibacakan dua hari menjelang eksekusi dilakukan. “Waktu putus PK Zainal Abidin bisa jadi merupakan rekor waktu tercepat pemeriksaan dan pengumuman putusan yang pernah dilakukan oleh MA,” kata Supriyadi.
Dia menilai, masih banyak catatan terkait pelanggaran jaminan proses hukum yang adil, terkait kasus-kasus hukuman mati, penyiksaan, kesalahan prosedur, pidana korban trafficking, sampai kejanggalan aturan. Namun hingga saat ini, DPR bahkan tidak pernah menanyakan seluruh kejanggalan itu ke Mahkamah Agung, Jaksa Agung atau bahkan Presiden.