Fokus Paket Reformasi Hukum Pemerintah
- VIVA.co.id / Agus Rahmat
VIVA.co.id - Nusron Wahid menjadi Ketua Tim Pemenangan Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok sebelum masa pendaftaran calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta.
Sikap itu, seiring dengan keputusan partainya, Golkar, yang mendukung Ahok maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Di Partai Golkar, Nusron menjabat sebagai Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Indonesia I, yakni Jawa dan Sumatera.
Terpilihnya Nusron sebagai ketua itu, awalnya disebut atas keinginan atau permintaan dari Ahok. Namun, Ahok kemudian membantahnya. Menurut Ahok, Nusron dipilih oleh partai-partai pendukungnya yaitu Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura.
Beberapa waktu setelah menyandang jabatan itu, sepertinya tak ada masalah yang menghamipiri Nusron. Sampai kemudian, publik mulai sadar bahwa ada sesuatu yang janggal.
Ketika itu dan hingga sekarang, Nusron merupakan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Jabatan tersebut, setingkat dengan menteri.
Sejumlah pihak pun menilai, Nusron telah merangkap jabatan. Satu jabatan publik, negara, yang digaji dari APBN. Satu lagi jabatan politik, dalam rangka memenangkan seseorang dalam suatu kontestasi politik, yaitu Pilkada.
"Tak semua jabatan yang dipegang boleh dirangkap. Tapi terlepas secara hukum bisa merangkap atau tidak, rangkap jabatan bisa sebabkan kerja terganggu dan tak fokus," kata Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi, kepada VIVA.co.id, Kamis, 11 Agustus 2016.
Menurutnya, rangkap jabatan itu akan mengganggu kinerjanya sebagai Kepala BNP2TKI. Karena itu, ia mengimbau Nusron untuk memilih salah satu.
Melihat adanya kritikan itu, Nusron tak berubah sikap. Ia justru menilai, tak ada satu pun Undang-undang yang dilanggarnya.
"Memang melanggar undang-undang? Kalau enggak, ya ngapain ribut. Memang enggak boleh ya (jadi tim sukses)?" kata Nusron.
Namun, pembelaan Nusron itu dimentahkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Salah satu komisionernya, Nasrullah mengatakan, pejabat negara tak diperbolehkan untuk menjadi tim sukses salah satu pasangan calon dalam Pilkada.
"Undang-undang telah jelas mengatur pejabat negara dilarang membuat keputusan apapun yang sifatnya menguntungkan, atau merugikan calon tertentu. Dilarang di Pasal 71 ayat 1 UU Pilkada," kata Nasrullah di Gedung DPR, Jumat 16 September 2016.
Nasrullah menegaskan bahwa Nusron yang merupakan pejabat negara, seharusnya tak boleh menjadi ketua tim sukses kandidat dalam Pilkada.
"Di sinilah nanti, kami akan mengambil beberapa langkah-langkah di internal, kami diskusikan. Bisa saja diserahkan pada pejabat berwenang, kalau dia menteri, Pak Presiden, ini punyamu, ada pejabat Anda yang begini (pejabat negara rangkap jabatan)," kata Nasrullah.
Hingga titik itu, Nusron masih tetap kukuh dengan posisinya tersebut. La,lu, mulai muncul desakan kepada Joko Widodo untuk mengambil sikap bahkan mencopotnya. Misalnya datang dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon, juga Fahri Hamzah. Tetapi, tak ada suara dari Istana, apalagi Jokowi.
Sampai kemudian, situasi mulai berubah ketika masa pendaftaran calon semakin mendekat. Pada Selasa 20 September 2016, atau sehari sebelum pendaftaran, PDIP mengumumkan dukungan pada Ahok.
Setelah itu, wacana pergantian komposisi tim pemenangan pun mengemuka. PDIP sebagai partai dengan jumlah kursi terbesar di DPRD DKI Jakarta mengincar posisi ketua.
Relatif tidak ada gejolak berarti. Posisi ketua akhirnya dijabat oleh politikus PDIP,  Prasetio Edi Marsudi, yang menjabat sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta dan Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta. Partai Golkar ikhlas dengan perubahan tersebut.
Waktu terus berjalan sampai kemudian, saat untuk mendaftarkan tim pemenangan Ahok-Djarot tiba. Pada Selasa, Pada Selasa, 4 Oktober 2016, partai-partai pengusung menyerahkan daftar nama ke KPU Provinsi DKI Jakarta. Tak ada nama Nusron di sana.
Ojo kakean politik
Nusron memiliki penjelasan tersendiri atas situasi mutakhir terkait posisinya yang menghilang dari daftar. Ia mengaku sempat membahasnya saat bertemu dengan Presiden Jokowi.
"Saya malah justru ditanya, 'kamu jadi cuti atau mundur apa tidak? Saya jawab, 'enggak jadi Pak, sebab ketua timnya sekarang teman pengurus partai di DKI saja," kata Nusron.
Usai menyampaikan itu, Jokowi lalu memberikan nasihat.
"Kata presiden, 'ya sudah konsentrasi nangani pekerjaan saja, ojo kakean politik (jangan terlalu banyak ngurus politik). Fokus urus TKI Timur Tengah. Biar cepat ada solusi," kata Nusron menirVIVA.co.id – Pemerintah masih mempersiapkan paket kebijakan reformasi hukum sebagai respons untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Pekan depan, rencananya masalah ini akan dibahas dalam rapat kabinet.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, tugas yang diberikan Presiden kepada Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, adalah untuk mengubah sejumlah peraturan yang bertentangan, termasuk turunan undang-undang.
Meski belum ada rincian teknis terkait poin paket ini, Pramono memberikan gambaran fokus yang akan diprioritaskan dalam paket perdana kebijakan reformasi hukum ini.
"Ya yang jelas (fokus paket pertama), satu mengenai stabilitas politik," ujar Pramono, di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2016.
Fokus kedua, terkait sistem demokrasi. Menurutnya, pemerintah ingin sistem demokrasi berjalan baik, terutama menjelang pelaksanaan Pilkada serentak.
"Ketiga berkaitan dengan soal utama yang kita hadapi bersama soal narkoba dan seterusnya," kata Pramono.
Paket kebijakan hukum ini rencananya diumumkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto. Paket itu akan menyasar perbaikan terhadap sistem di penegakan hingga budaya hukum tersebut. Sebab, aparat hukum kerap menjadikan hukum sebagai komoditas untuk kepentingan kelompok sendiri.
"Ini yang nanti akan kami sasar. Agar apa, agar kepercayaan publik terhadap hukum nasional itu kembali pulih," katanya di Kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa, 27 September 2016. (ase)ukan Jokowi.
Meski demikian, Nusron tidak kecewa, karena tidak masuk dalam tim pemenangan Ahok-Djarot. Ia mengaku sengaja meminta, agar namanya tidak dimasukkan. Sebab, saat ini Nusron juga menjabat Ketua Pemenangan DPP Partai Golkar untuk Pilkada Serentak 2017 wilayah Jawa dan Sumatera.
(asp)