Soal Polemik Raja Gowa, Gubernur Sulsel Mengaku Serba Salah

Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Januar Adi Sagita

VIVA.co.id - Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, mengutuk tindakan massa yang merusak dan membakar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gowa. Ia menduga, aksi demonstrasi massa komunitas adat Gowa itu diprovokasi orang tidak bertanggung jawab.

Bikin Kaget Isi Garasi Wakil Bupati Maros Suhartina yang Positif Narkoba

"Harus jadi pembelajaran untuk semua pihak bahwa cara anarki dalam bentuk apa saja, kita tidak setuju. Kalau ada yang kurang dan perlu dibenahi, mari kita duduk sama-sama dan sesuai aturan yang ada," kata Gubernur di Makassar pada Selasa, 27 September 2016.

Dia mengaku sudah turun tangan menangani polemik Peraturan Daerah tentang Lembaga Adat Daerah (LAD) Kabupaten Gowa. Namun hal itu tidak diumumkan ke publik. Alasannya, Bupati Gowa adalah keponakannya. Dia khawatir timbul pandangan buruk publik sehingga dianggap membela keponakan.

Wakil Bupati Maros Suhartina Positif Narkoba, BNN Minta Segera Direhabilitasi

"Cuma saya dalam posisi yang sulit untuk kemukakan itu. Nanti dianggap macam-macam. Saya pejabat dan harus berpihak pada semua, dan berpihak pada kebersamaan. Pernyataan bahwa bupatinya bukan mau jadi raja, saya kira itu indikasi bahwa bukan itu yang dimaksud," kata Syahrul.

Ia meminta masyarakat bersabar, karena untuk membatalkan satu perda tidak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu pun terbentuknya suatu perda melalui proses panjang. "Saat ini mediasinya sudah jalan. Kita tunggu proses," katanya menambahkan.

Diduga Beda Pilihan Politik dengan Pemilik Lahan, Makam Pasutri di Sulsel Dibongkar Paksa

Dia menjelaskan, sedikitnya ada tiga tahapan pengujian yang bisa dilalui untuk membatalkan sebuah perda, yakni judicial review, legislative review, dan executive review.

Judicial review ialah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak eksekutif diuji oleh kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hirarkis.

“Mari kita masuk dalam proses. Sebenarnya proses-proses cooling (menahan diri dan tidak memperkeruh suasana) sementara kita lakukan, dan komunikasi dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) sebagai top executive review sudah dilakukan.”

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya