Pembangunan di Papua Jangan Bikin Warganya Terpinggirkan
- KBRI Den Haag
VIVA.co.id – Komitmen pemerintah untuk menggenjot pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua patut disambut secara positif. Namun berbagai pembangunan fisik itu harus melibatkan juga kearifan lokal serta meningkatkan kemampuan sumber daya masyarakat Papua, sehingga mereka tidak merasa terpinggirkan atau terasing.
Demikian menurut kalangan intelektual maupun pemerhati Papua di Belanda saat memaparkan kondisi terkini wilayah mereka kepada para akademisi dan mahasiswa di Negeri Kincir Angin itu. Mengambil tajuk “Development and Human Security in Papua, Indonesia“, pembangunan di Papua dibahas dalam seminar akademis di University of Groningen, 20 September 2016.
Menurut Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, seminar itu menghadirkan pembicara mantan Menteri Luar Negeri RI periode 2001-2009, Dr. N. Hassan Wirajuda, Dr. Gabriel Lele dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan dua kandidat doktor dari University of Groningen yakni Tri Efriandi dan Petrus Farneubun.
Acara ini dihadiri oleh akademisi dan mahasiswa doktoral dari University of Groningen dan universitas lain di Belanda, perwakilan mahasiswa Indonesia dan staf KBRI Den Haag.
Dr. Gabriel Lele mengawali seminar dengan mengetengahkan pandangannya terkait permasalahan yang dihadapi di Papua secara umum. Dalam makalah yang berjudul “Human Security in Papua: Achievements and Constraints”, Dr. Lele mengatakan bahwa dalam membangun Papua diperlukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peningkatan kemampuan dalam menjalankan pemerintahan.
“Pemahaman yang lebih komprehensif terkait bagaimana struktur tata kelola formal yang digariskan pemerintah pusat dan tata kelola lokal berbasis adat Papua juga sangat diperlukan agar berbagai inisiatif yang dirancang pemerintah bisa berjalan secara efektif,” kata Lele.
Bagi dia, berbagai langkah politik saja tidak akan cukup membawa perubahan mendasar di Papua. “Kecuali dilengkapi dengan langkah-langkah mikro yang langsung bersentuhan dengan permasalahan atau kebutuhan masyarakat,” katanya.
Tri Efriandi, kandidat Doktor yang tengah belajar di Fakultas Spatial Science, Universitas Groningen, menyoroti pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat dan dampaknya terhadap pembangunan – seperti yang dia sampaikan makalah yang berjudul “Decentralization and regional development: A case Study of Local Government proliferation in Papua and West Papua.”
Menurut Tri, belum ada korelasi positif antara pemekaran wilayah dengan pembangunan di kedua propinsi. “Ini diukur dari data tingkat prosentase kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia,” kata Tri.
Dia pun merekomendasikan sejumlah langkah agar pembangunan dan pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat berjalan efektif. “Antara lain, perlu adanya moratorium dan evaluasi, serta perlu ada persyaratan yang lebih ketat terhadap proposal pemekaran wilayah di Indonesia,” kata dia.
Sementara itu, Petrus Farneubun, dosen Universitas Cendrawasih yang juga tengah belajar di University of Groningen, menyampaikan pandangannya mengenai kesehatan di Papua, dengan makalah berjudul “Health Initiatives and Behavioral Change in Papua: Encouraging Condom Use in the Fight against HIV.”
Petrus menjelaskan situasi kesehatan masyarakat di Papua, terkait penyakit HIV dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam rangka memerangi dan mencegah penyebaran HIV di Papua. Petrus memaparkan bagaimana problematika dan tantangan dalam menjelaskan penggunaan kondom di masyarakat.
Sambutan Baik
Sementara itu, mantan Menlu Hassan Wirajuda membagi pengetahuannya dan pengalamannya dalam menangani isu Papua pada saat menjadi Menteri Luar Negeri (2001-2009). Ini termasuk mengenai latar belakang sejarah integrasi Papua di Indonesia dan adanya hak suara yang diamanahkan kepada Kepala Suku.
Dia menjelaskan bagaimana upaya pemerintah dalam menjalankan pembangunan di wilayah timur Indonesia tersebut, tidak saja pada masa Presiden SBY tetapi juga pada masa Presiden Joko Widodo. Bagi Hassan, seminar yang dikemas secara akademis ini dapat memberikan pandangan lain untuk kemajuan Papua agar seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Prayoga Permana, mahasiswa doktoral pengagas seminar, menyampaikan bahwa forum ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa di Belanda karena memberikan informasi yang seimbang mengenai perkembangan terakhir di Papua, baik dari sisi akademik maupun pemerintah.
“Kegiatan ini sekaligus sebagai ruang diskusi terbuka untuk memberikan rekomendasi yang konstruktif bagi masa depan Papua dan juga Indonesia pada umumnya,” kata Prayoga.
Sementara itu, sebagai tuan rumah di University of Groningen, Profesor Dr. Ronald Holzhecker menyambut baik seminar akademik ini. Dia sekaligus mengungkapkan bahwa Universitas Groningen mempunyai kerjasama yang erat dengan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
“Dalam waktu dekat, Rektor dan civitas akademika juga akan melakukan kunjungan ke UGM,” kata dia. Maka, Holzhecker juga mendorong para mahasiswanya untuk melakukan seminar akademis, termasuk membahas isu pembangunan di Papua.
Wakil dari KBRI Den Haag, Ourina Ritonga, menyampaikan ucapan terima kasih atas kerjasaam antara Indonesia dengan Universitas Groningen dan menyambut baik ide seminar untuk membahas pembangunan di Papua secara akademis. (ase)