Saksi Sebut Gubernur Nur Alam Intervensi Soal Izin Tambang

Mobil penyidik KPK keluar dari rumah pribadi Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jojon

VIVA.co.id – Sekretaris Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan, Cecep Trisnajayadi, merampungkan pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus korupsi atas penerbitan izin usaha pertambangan kepada PT Anugrah Harisma Barakah. Dalam kasus ini, penyidik KPK sudah menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, sebagai tersangka.

Tak Terima Hukuman Diperberat, Gubernur Sultra Nur Alam Kasasi

Kepada wartawan, Cecep yang ketika IUP diterbitkan masih menjabat Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Bombana mengatakan, pihaknya hanya mengeluarkan surat rekomendasi keabsahan PT Anugrah Harisma Baraka (AHB). Itu pun tegas Cecep, berdasarkan permintaan Nur Alam.

"Ya kan yang minta rekomendasi kan gubernur ke bupati. Nah kemudian bupati menerbitkan rekomendasi. Setelah itu bukan kewenangan kami," kata Cecep usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat, 9 September 2016.

Gubernur Sultra Divonis 12 Tahun Penjara

Dikonfirmasi lebih jauh, Cecep justru banyak berkelit. Dia menilai semua tanggung jawab gubernur. Pasalnya semua perizinan sampai akhirnya bermasalah di KPK, itu berada di provinsi. Kabupaten hanya merekomendasikan sesuai permintaan Nur Alam.

"Yang jelas saya hanya mengerti rekomendasi tersebut ditandatangani oleh bupati, sudah," kata Cecep. Saat itu, Bupati Bombana dijabat oleh Attikurahman.

Lihainya Gubernur Nur Alam Kelabui PPATK Transfer Uang Suap

Terkait hal ini, mantan Bupati Bombana Attikurahman yang telah diperiksa KPK di Polres Baubau mengakui pernah mengeluarkan keputusan pengelolaan tambang oleh PT AHB di Kabupaten Bombana. Hanya saja, surat tersebut kemudian dibatalkan setelah dirinya mengetahui lahan yang dikuasai PT AHB masih dalam kawasan PT Inco yang saat ini sudah bernama PT Vale.

"Karena lahan itu bekas kawasan PT Inco maka saya kemudian perintahkan kepada Cecep yang saat itu adalah Kadis Pertambangan Bombana untuk membatalkan surat sebelumnya melalui surat Keputusan Bupati Bombana," ujarnya.

Tak berselang lama, Gubernur Nur Alam lalu memanggil Atikurahman untuk meminta dibuatkan rekomendasi terkait surat yang sebelumnya telah ditanda tangani. Tapi, Attikurahman mengaku enggan memenuhi permintaan Nur Alam karena surat yang dimaksud sudah dibatalkan.

"Nah, pada tahun 2011 saya dipanggil lagi oleh gubernur di salah satu hotel di Jakarta tapi saya lupa nama hotelnya. Saat itu ada lima orang sudah termasuk Nur Alam dan saya. Dalam pertemuan itu, mereka meminta saya untuk mengubah surat sebelumnya. Tapi, saat itu saya sudah tidak jadi bupati lagi, jadi saya sudah tidak berhak memberikan rekomendasi," katanya.

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati mengatakan Cecep diperiksa penyidik soal Administrasi perizinan di daerahnya. Sebab, kapasitas dirinya saat itu masih menjabat di Dinas Pertambangan Bombana.

"Termasuk soal penyalahgunaan izinnya itu dikonfirmasi oleh penyidik," kata Yuyuk.

Seperti diketahui, kasus ini mencuat setelah Nur Alam menerbitkan SK nomor 828 tahun 2008 tentang persetujuan pencadangan wilayah pertambangan PT AHB seluas 3.084 hektar di atas lahan tambang milik PT Prima Nusa Sentosa (PNS). SK yang dikeluarkan oleh Nur Alam di atas ditingkatkan lagi dengan menerbitkan SK nomor 815 tahun 2009 tantang izin usaha pertambangan eksplorasi milik PT AHB, serta ditingkatkan lagi statusnya melalui SK gubernur nomor 435 tahun 2010 tentang persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP eksploitasi di lahan yang sama.

Kasus ini pun sempat masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN), dan Gubernur Sultra Nur Alam kalah dua kali di PT TUN atas gugatan PT. Prima Nusa Sentosa (PNS) terkait tumpang tindih izin lahan tambang dengan PT AHB.

Hal ini sesuai putusan PT TUN Kendari yang disidangkan tanggal 30 Mei 2011 dengan Nomor 33/G.TUN/2010/PT-Kdi dan putusan pada  PT TUN Makassar dalam perkara banding bernomor 106/B.TUN/2011/PT TUN MKS tanggal 29 September 2011 sekaligus menguatkan putusan PT TUN Kendari.

PT TUN Makassar menilai Gubernur Sultra Nur Alam dalam menerbitkan izin yang menjadi obyek sengketa, terbukti prosedural formal dan subtansi materil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku yaitu UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No 1603.K/40/M.EM/2003, serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Putusan PTUN Makasar yang menguatkan putusan PTUN Kendari yang sekaligus menegaskan bahwa PT PNS berhak secara hukum untuk melakukan penambangan di atas lahan seluas 1.999 ha di kecamatan Kabaena Tengah dan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana, selama 20 tahun. Anehnya, walau dinyatakan kalah di persidangan, aktivitas penambangan tetap dilakukan PT AHB saat itu.

Masuk tahun 2016, KPK mulai menyelidiki kasus Nur Alam ini dan menemukan bukti permulaan yang cukup. Alhasil, pada 23 Agustus 2016, KPK mengumumkan mantan Ketua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) itu sebagai tersangka karena diduga menyalahgunaan wewenang menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.

Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah, selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

"Diduga, penerbitan SK dan izin tidak sesuai aturan yang berlaku, dan ada kick back yang diterima Gubernur Sultra (Nur Alam)," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif.

Nur Alam disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya