Kronologi Penyanderaan Tujuh Polisi Hutan di Riau
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro
VIVA.co.id – Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKLHK) di kawasan Rokan Hulu, Provinsi Riau, mendapat perlawanan dari sekompok masyarakat diduga di mobilisasi oleh PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL). Tujuh anggota polisi hutan yang sedang melakukan penyelidikan sempat disandera sebelum akhirnya dibebaskan anggota Polri dan TNI.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, memanggil ketujuh petugas yang sempat disandera dan mengungkapkan kronologi kejadian penyanderaan pada Jumat, 2 September 2016 lalu.
"Saya mengundang mereka agar informasi tidak simpang siur," Kata Siti di gedung KLHK, Jakarta, Selasa 6 September 2016.
Berikut kronologi penyanderaan atas tim KLHK di areal yang dikuasai PT APSL:
1. Sejak titik api mulai meluas di Riau, Menteri LHK meminta Ditjen Penegakan Hukum segera menurunkan tim ke lokasi melakukan penyelidikan.
2. Tim pertama turun ke lokasi yang dikuasai PT APSL, Senin, 29 Agustus 2016. Tim sempat melakukan komunikasi dengan pengelola lahan sebelum masuk ke areal perusahaan.
Di lokasi pertama ditemukan areal terbakar mencapai 600 ha. Tim sempat masuk lebih kedalam lagi pada areal kebun sawit yang terbakar yang diperkirakan lebih dari 2000 ha. Akan tetapi tim mengalami kesulitan karena asap cukup tebal.
3. Selasa 30 Agustus 2016, dipimpin Ditjen Gakkum, tim KLHK kembali ke lokasi dan masih menjumpai ada masyarakat yang mengungsi di luar areal terbakar. Mereka telah mendirikan tenda beberapa hari di lokasi pengungsian tersebut.
Setelah diselidiki, ternyata mereka merupakan pekerja yang didatangkan dari daerah lain, dan selama ini beraktifitas di dalam areal yang dikuasai perusahaan. Rumah mereka ikut terbakar karena meluasnya titik api di dalam lokasi kebun.
4. Dalam penguasaan secara ilegal kawasan yang terbakar tersebut, setelah ditelusuri lebih jauh, PT. APSL diduga memfasilitasi pembentukan tiga kelompok tani untuk mengelola kebun sawit dengan PT APSL bertindak sebagai 'bapak angkat'.
Masyarakat dimaksud tak lain adalah pekerja dari perusahaan itu sendiri yang dibentuk melalui kelompok tani.
5. Saat tim KLHK masuk ke lokasi kebun, ditemukan fakta lahan sawit yang terbakar sangat luas dan masih berasap. Mayoritas merupakan kebun sawit di dalam areal hutan produksi.
Artinya, semua aktifitas di lokasi tersebut ilegal. Modus seperti ini biasa digunakan perusahaan yang nakal, dimana mereka menggarap lahan secara ilegal menggunakan dalih dikelola masyarakat, dan berada di lokasi yang tak jauh dari lahan legal mereka.
6. Setelah mendapat fakta awal, tim kembali ke Pekanbaru dan melakukan rapat internal. Diputuskan untuk melakukan tindakan penyelidikan sekaligus penyegelan di lokasi yang dikuasai PT APSL.
7. Jumat 2 Agustus 2016, pukul 11.00 WIB, tim turun ke lokasi. Untuk menuju ke lokasi tersebut harus menggunakan ponton (sejenis transportasi penyeberangan) untuk menyeberang sungai.
Sebelum masuk ke areal PT APSL, tim sudah berkomunikasi dengan wakil perusahaan bernama Santoso. Atas izin Santoso pula, mereka dapat melewati portal yang dijaga oleh petugas keamanan perusahaan.
8. 'PPNS Line' dan plang KLHK dipasang sekitar pukul 14.00-15.00 WIB. Selama proses itu berlangsung, tim sudah merasa diamati. Beberapa kali ada yang lewat menggunakan sepeda motor.
Namun, tim tetap bekerja mengambil bukti foto lahan yang terbakar serta video menggunakan kamera drone.
Fakta lapangan menunjukkan, ada lahan yang memang sengaja dibuatkan atau jalur bakar. Artinya lahan yang akan digunakan untuk menanam sawit tersebut, terindikasi kuat memang sengaja disiapkan untuk dibakar.
Bahkan saat tim tiba di lokasi, masih ada asap yang mengepul dari lahan berdasar gambut itu.
9. Sekitar pukul 15.00 WIB, tim KLHK memutuskan untuk kembali, dengan menggunakan dua mobil. Mereka sempat bertegur sapa dengan seseorang (diduga salah satu manajer perusahaan PT APSL inisial A).
10. Usai bertegur sapa, tim KLHK melanjutkan perjalanan. Namun ternyata A dan rekannya yang menggunakan sepeda motor, membuntuti perjalanan mereka.
Tim tetap bergerak ke arah lokasi ponton untuk menyeberang pulang, dan menganggap A dan rekannya juga akan sama-sama pulang.
11. Sebelum sampai ke lokasi ponton, tim KLHK tiba-tiba dihadang oleh sekelompok pemuda. Mereka ternyata sudah menunggu sebelumnya dan sengaja menggeser posisi ponton, sehingga tim KLHK tidak bisa menyeberang.
Ponton ini dioperasikan oleh PT. Chevron karena jalan tersebut merupakan jalan inspeksi pipa PT. Chevron.
12. Gerombolan yang mencegat ini meminta tim KLHK turun dari mobil. Mereka kemudian dibawa ke sebuah tempat tak jauh dari lokasi tersebut.
Tim KLHK didesak menghapus foto-foto, video serta mencopot plang yang dipasang di lokasi karhutla. Dalam waktu sekejap, jumlah massa mencapai 50 orang.
13. Negosiasi terus dilakukan. Tim KLHK menegaskan bahwa mereka sedang menjalankan tugas negara. Namun, gerombolan massa tetap tidak menerima dan meminta tuntutan mereka dikabulkan segera.
Tim di lapangan terus berkoordinasi dengan Ditjen Gakkum. Selama proses negosiasi tersebut, Ditjen Gakkum juga terus berkoordinasi dengan Menteri LHK.
14. Demi keselamatan tim KLHK yang disandera, plang akhirnya disepakati untuk dicabut, akan tetapi tim KLHK meminta yang melakukan pencabutan adalah pihak penyandera.
Pencabutan plang dilakukan oleh pihak penyandera. Begitu juga dengan foto-foto yang disimpan di dalam kamera digital, semua dihapus dengan disaksikan para penyandera.
Namun data foto dalam kamera drone berhasil diselamatkan. Dari kamera drone inilah, bukti foto dan video luasan lahan yang terbakar, termasuk rumah pekerja (diklaim sebagai masyarakat) yang terbakar, berhasil didapatkan.
15. Selama proses negosiasi, tim KLHK yang disandera, diinterogasi dan mendapatkan berbagai intimidasi.
Massa yang jumlahnya semakin banyak (lebih dari 100 orang) juga mengeluarkan ancaman. Tim KLHK diancam akan dipukuli, dilempar ke sungai, dibunuh dengan cara dibakar dan ancaman lainnya. Jumlah massa terlihat dimobilisasi karena adanya pergerakan kendaraan yang membawa massa.
Tim KLHK (Polhut) juga terus diprovokasi untuk menggunakan senjata. Namun atas perintah Menteri LHK yang terus berkoordinasi via telepon dengan Ditjen Gakkum, meminta tim KLHK yang tengah dikepung massa itu untuk tetap tenang, sabar dan tidak terprovokasi dengan menggeluarkan senjata.
Ditjen Gakkum atas arahan menteri juga melakukan koordinasi dengan Danrem sebagai Komandan Satgas Karhutla dan Kasrem.
16. Setelah tuntutan penghapusan foto, video dan pencabutan plang KLHK dipenuhi, negosiasi awalnya berakhir damai setelah turun pemuka kampung atau ninik mamak.
Sekitar pukul 18.00 WIB, tim KLHK sebenarnya sudah sempat bersalaman dengan para ninik mamak untuk berpamitan. Namun begitu hendak keluar, mereka kembali dihadang.
Gerombolan massa mengancam akan membebaskan tujuh orang tim KLHK tersebut, jika Menteri LHK Siti Nurbaya bisa hadir langsung di lokasi. Hingga saat ini masih didalami motif dan muatan apa hingga penyandera meminta menghadirkan Menteri LHK.
17. Situasi kembali memanas, tim KLHK kembali disandera gerombolan massa. Berbagai upaya negosiasi tetap gagal dilakukan. Sekitar pukul 24.00 WIB, Kapolres dan timnya akhirnya tiba di lokasi kejadian.
18. Setelah proses negosiasi lanjutan hingga pukul 2.30 dinihari, Sabtu 3 September 2016, disepakati tujuh tim KLHK dibebaskan, namun kendaraan berupa dua unit mobil berikut barang-barang, harus ditinggal di lokasi. Tim KLHK kemudian beristirahat di kantor Polsek.
19. Tim KLHK akhirnya dievakuasi menggunakan truk Dalmas dengan pengawalan aparat kepolisian.
20. Sabtu, 3 September 2016, Menteri LHK melakukan koordinasi dengan Kapolda Riau.
Siti menegaskan peristiwa penyanderaan tujuh anggotanya tidak akan mengurangi ketegasan KLHK dalam menindak pelaku kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan pihak korporasi atau perusahaan lainnya.
"Pembakar hutan atau lahan harus dibuat jera agar tidak mengulangi perbuataanya yang membuat masyarakat menderita dan merusak citra Indonesia didunia internasional," kata Siti.
(ren)