Gara-gara Kasus Sumber Waras, KPK Digugat ke Pengadilan
- VIVA.co.id/M. Ali. Wafa
VIVA.co.id – Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ) menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa, 6 September 2016.
Rombongan GSJ yang dipimpin Ratna Sarumpaet tersebut menggugat KPK atas perbuatan melawan hukum karena telah melalaikan perintah undang-undang untuk memberi laporan pertanggungjawaban kepada publik terkait tiga kasus korupsi besar yang diduga melibatkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Ada tiga kasus korupsi yang digugat GSJ kepada KPK. Pertama, kasus pembelian RS Sumber Waras oleh Gubernur DKI Jakarta. Kedua, pembelian Lahan di Cengkareng Barat berdasarkan disposisi Gubernur DKI Jakarta.
"Dan ketiga, yakni Rancangan Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2016 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara yang telah diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta," kata Ratna di PN Jakarta Pusat, Jl. Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Selain KPK, GSJ juga menggugat Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Pimpinan DPRD DKI Jakarta, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Tionghoa Indonesia Raya, Budi Tjahjono Prawiro, mantan Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Provinsi DKI Jakarta, Ika Lestari Aji, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI dan Kartini Muljadi (Ketua Yayasan Sumber Waras).
Dalam berkas gugatan yang didapat VIVA.co.id, gugatan GJS dirangkai berdasarkan sejumlah pemberitaan media mengenai tiga kasus tersebut. Penggugat merasa semua kasus dimaksud masih simpang siur, sehingga KPK diduga tidak bertanggungungjawab atas informasi tiga kasus itu.
Ratna memandang KPK telah melakukan penyalahgunaan wewenang karena tidak menjalankan tugasnya. Padahal Ratna menjelaskan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002?, yang berbunyi bahwa KPK bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden RI, DPR RI, dan BPK RI.
"Pertanggungjawaban publik yang dimaksud itu, wajib audit kinerja dan keuangan sesuai program kerja, laporan tahunan, dan buka akses informasi," kata Ratna.
Pada gugatannya, Ratna Cs juga menyinggung dugaan gratifikasi Rp6 miliar yang diterima Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok dari PT APL. Menurut Ratna, sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah telah dilaporkan sebagai gratifikasi atau tidak ke KPK.
"Kalaupun sudah dilaporkan beberapa saat setelah menerima dan menggunakan beberapa waktu, maka terjadi ketidakpastian hukum yang diperbuat KPK. Beda dengan perlakuan terhadap Sanusi (mantan Ketua Komisi D DPRD DKI, yang kini menjadi terdakwa)" kata Ratna.
Karena itu, Ratna berharap, majelis hakim mengabulkan gugatan pihaknya dan menyatakan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu, agar majelis hakim memerintahkan KPK agar membuat pertanggungjawaban kepada publik, utamanya terhadap tiga kasus yang diduga melibatkan Ahok.
“Kami juga meminta majelis agar memerintahkan KPU menolak pencalokan Ahok (sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta)."
Baca juga: