Polisi Ingin Ada Pasal yang Bisa Pidanakan Aksi Praterorisme
- VIVA.co.id/Lilis Khalisotussurur
VIVA.co.id – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai salah satu kelemahan dalam penanganan kasus terorisme adalah lemahnya undang-undang yang ada di Indonesia. Selama ini, undang-undang hanya bisa membatasi pada tindakan terorisme, namun tidak bisa menyentuh upaya sebelum aksi terorisme terjadi.
Atas itu, polisi ingin ada undang-undang yang mengatur agar aksi praterorisme dapat dijerat. Sehingga bisa meminimalisir peluang aksi teror di Indonesia.
"Operasi terorisme ini hanya puncaknya saja. Ada kegiatan-kegiatan awal yang sebetulnya bisa kita cegah. Kalau kita bisa membuat pasal-pasal mengenai peristiwa awal, maka kita bisa mendahului mereka," kata Tito di DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016.
Ia mencontohkan misalnya provokasi yang bersifat kebencian pada yang bisa mengarah pada terorisme, dalam undang-undang (UU) belum ada pasal yang bisa mengkriminalisasinya.
"Kemudian misalnya pelatihan dalam rangka untuk melakukan aksi terorisme. Itu tidak dikriminalisasi. Sekarang mereka latihan menggunakan air soft gun, senjata kayu, tapi itu dalam rangka menuju amaliyah (sebutan aksi pengeboman atau mati syahid bagi teroris)," kata Tito.
Lalu, ia mencontohkan di luar negeri, penegak hukum membuat daftar atau menginvetarisir teroris. Sehingga ketika ada orang yang bergabung dengan kelompok tersebut bisa dipidana. Aturan ini juga belum diatur dalam UU di Indonesia.
"Sehingga ketika mereka bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI), dalam beberapa kasus terorisme semua menyebut JI. Sehingga siapa pun yang bergabung dengan kelompok itu, selama tak melakukan aksi, tak bisa kita pidana," kata Tito.
Menurutnya, kalau UU mengatur agar bisa melarang kelompok-kelompok sebagai teroris maka penegak hukum hanya cukup membuktikan orang bersangkutan sudah bergabung dengan kelompok tersebut.
"Mungkin dengan kartu, dokumen, atau perbuatan. Maka kita sudah bisa mencegah aksi terorisme, tak perlu menunggu sampai terjadi. Misal kalau ada yang bergabung dengan ISIS, susah kita membuktikannya. Karena di sini tidak dianggap sebagai kelompok teror," kata Tito.
ISIS memang di PBB dianggap kelompok teror menurut Tito. Tapi belum diratifikasi dalam UU di Indonesia. Sehingga sulit untuk mempidanakan mereka yang berada di Indonesia ketika bergabung dengan ISIS.
"Akhirnya dicoba pasal lain yaitu orang yang melakukan perlawanan, pemberontakan pada negara sahabat. Itu susah kita buktikan juga. Pemberontakannya harus kita buktikan, itu KUHP. Sehingga mereka gabung berangkat ke ISIS kembali, pemahamannya mungkin bisa jadi sangat radikal," kata Tito.
Menurutnya, mereka yang keluar negeri misalnya bergabung ke ISIS, lalu kembali membawa paham baru bisa menjadi ancaman baru. Sekarang sudah mencapai 500 orang lebih yang berangkat bergabung ke ISIS. Kalau mereka kembali, bisa menjadi ancaman.
"Kalau tak kembali jadi masalah juga. Karena ada 3 orang yang terjadi 2015 hingga 2016 terkait dengan ISIS melibatkan perantara yaitu Bahrun Naim dan Abu Jandam. Mereka berikan uang dan berikan instruksi. Semua berasal dari sana," kata Tito.