Kasus Bom Medan, Anggota DPR Tuding Intelijen Kecolongan
- ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
VIVA.co.id – Anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Sudding menilai, program deradikalisasi belum efektif. Hal itu terbukti dari masih maraknya aksi teror di Indonesia. Salah satu aksi teror yang terbaru adalah aksi bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph di Medan, Sumatera Utara.
"Ini jadi perhatian seluruh kementerian dan lembaga untuk meminimalisir ini. Apakah ini karena kesenjangan, atau apa. Agar ke depan tidak terjadi lagi," kata Sudding ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Agustus 2016.
Politikus Partai Hanura ini mengatakan, aksi teror tersebut merupakan bentuk kecolongan dari pihak-pihak terkait, termasuk dari pihak intelijen.
"Saya kira ini merupakan satu kecolongan. Apalagi pelakunya sampai masuk ke rumah ibadah. Ini ancaman integrasi bangsa, kenapa tidak bisa diantisipasi," ujarnya menambahkan.
Sudding berharap, RUU Terorisme yang tengah dibahas bisa memperluas sistem penanganan terorisme. Ia mengakui selama ini ada ego sektoral lembaga-lembaga yang terkait hal ini.
"Persoalan terorisme tidak satu dua kali terjadi, ini mengancam kerukunan antarumat beragama. Memang kemarin kita ada rapat dengan Menkopolhukam, serta pimpinan Pansus juga hadir, agar penanganan kasus terorisme ini tidak mengedepankan ego sektoral."
Diketahui, aksi percobaan bom bunuh diri terjadi di Gereja Santo Yosep sekira pukul 08.00 WIB pada 28 Agustus 2016 kemarin. Pelaku yang diketahui bernama Ivan Armadi Hasugian, mencoba membawa ransel berisi bom rakitan ke dalam gereja.
Saat kejadian, diduga bom yang dibawa Ivan Armadi Hasugian gagal meledak. Tasnya hanya mengeluarkan percikan api. Karena itu, Ivan pun mengeluarkan senjata tajam dan menyerang pastor yang bernama Albert Pandingan.
Jemaat pun panik, beberapa berhamburan dan lainnya berupaya menghentikan perbuatan Ivan. Beruntung bom tidak meledak dan Ivan pun berhasil dilumpuhkan lalu diserahkan ke polisi.
(mus)