Konflik Manusia dengan Harimau Tinggi, Dokter Terbatas
- VIVA.co.id/WCS-IP Doc
VIVA.co.id – Jumlah konflik antara harimau dengan manusia di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mengkhawatirkan. Setidaknya, dalam catatan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP), untuk periode 2008-2015 atau selama tujuh tahun, telah terjadi 113 kali konflik dan mengakibatkan empat orang meninggal dunia dan sebanyak tiga ekor harimau dilaporkan mati.
"Pemicu konflik manusia dan harimau ini ditengarai oleh aktivitas perambahan hutan dan perburuan liar yang dilakukan oleh manusia," kata Firdaus Affandi, Koordinator Perlindungan Satwa Liar Region Sumatera Bagian Selatan WCS-IP dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 24 Agustus 2016.
Baca Juga:
Dari catatan WCS-IP, konflik berkepanjangan ini terjadi dalam areal yang luas. Kini sudah terjadi di 23 desa yang tersebar di Provinsi Lampung dan Bengkulu. Dan yang mengkhawatirkan adalah minimnya ketersediaan jumlah tenaga medis untuk penanganannya. Khususnya untuk satwa liar yang menjadi korban konflik.
Pentingnya keberadaan dokter satwa itu sangat diperlukan untuk pengobatan terhadap harimau terluka, atau pun melakukan translokasi harimau. "Karena ancaman manusia menjadi program penting yang harus ditangani dengan serius. Dokter hewan harus ada di setiap lokasi konflik tingkat kabupaten," ujar Firdaus.
Sejauh ini, WCS bersama Balai Besar TNBBS dan Balai Taman Nasional Way Kambas tengah menggelar pelatihan khusus bagi dokter hewan. Setidaknya target dari kegiatan ini mampu mengurangi risiko kematian harimau akibat konflik dengan manusia. Serta menyiapkan dokter yang tanggap darurat jika terjadi konflik.
“Kami memerlukan dokter hewan untuk menangani konflik ini, sekaligus proses relokasi harimau yang menjadi korban konflik,” kata Country Director WCS-IP Noviar Andayani.
Tak cuma itu, lewat pelatihan ini diharapkan juga dapat membuat dokter hewan yang dilatih akan bisa memantau kesehatan ternak milik masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Tujuannya, meningkatkan produktivitas ternak milik masyarakat desa yang rawan konflik.
“Setelah pelatihan diharapkan bisa terbangun jaringan dokter hewan di daerah," kata Noviar.
Khusus tahun ini, tercatat ada 17 dokter hewan yang akan dilatih selama empat hari, 23-26 Agustus 2016. Seluruhnya akan diberikan pemahaman mengenai penanganan satwa pasca konflik, baik dalam hal teknis maupun kebijakan. (ase)