Komnas HAM: Bahaya Paham Komunisme sudah Tidak Relevan
- ANTARA FOTO/Agus Bebeng
VIVA.co.id - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichawatul Aswidah mempertanyakan alasan pemerintah yang memasukkan bahaya penyebaran dan pengajaran pemikiran Marxisme-Leninisme atau Komunis dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurutnya, ketentuan terkait penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di pasal 219 hingga 221 Rancangan KUHP sudah tidak sesuai lagi konteks bernegara saat ini. Selain itu, lanjutnya, ketentuan peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan fungsi ideal dibuatnya KUHP sebagai acuan dasar undang-undang pidana di Indonesia.
"Karena rumusan melawan hukum pada ayat 1 pasal 219 RKUHP itu dapat ditafsirkan berbagai macam. Seharusnya pemerintah memikirkan konteks sekarang itu apakah masih membutuhkan sebuah rumusan seperti itu?" kata Roichawatul usai menghadiri diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 22 Agustus 2016.
Roichawatul mengatakan, rumusan KUHP seharusnya dilihat dari unsur korban yang nyata apabila sebuah peraturan dalam perundang-undangan itu dilanggar. Sementara, dia menilai, ketentuan bahaya akibat menyebarkan serta mengajarkan paham Marxisme-Leninisme di Indonesia saat ini tidak pasti.
"Sebuah negara demokratis dari hari ke hari mereka mengurangi rumusan-rumusan yang korban nyatanya tidak ada. Karena rumusan undang-undang pidana itu sebenarnya untuk melindungi hak asasi manusia warganya, tentu korbannya harus riil. Kalau korbannya tidak riil, itu harus dipertanyakan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono, mengatakan bahwa pasal terkait penyebaran paham Komunisme, Marxisme, Leninisme merupakan pasal karet yang meneruskan jargon rezim Orde Baru. Menurutnya, pasal tersebut tidak merinci dengan baik ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme seperti apa yang dilarang.
"Perumusan yang demikian sangat rentan terhadap pelanggaran HAM dan ini sangat berbahaya," kata Supriyadi.