Isu Rokok Rp50 Ribu Dimanfaatkan Tengkulak Tekan Petani

Ilustrasi/Petani tembakau
Sumber :
  • REUTERS / Pilar Olivares

VIVA.co.id – Beredarnya isu kenaikan mencapai Rp50 ribu per bungkus berdampak buruk pada sejumlah petani tembakau di daerah. Kini, harga jual hasil panen petani ditekan, dengan dalih akan ada penurunan produksi rokok.

Di Jawa Timur misalnya, kini para tengkulak menekan petani sejak beredarnya isu kenaikan . Tujuannya adalah untuk mendapatkan harga beli rendah di tingkatan petani.

"Alasannya, industri hasil tembakau (IHT) tahun ini akan sedikit menyerap tembakau milik petani, karena akan dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus. Kondisi ini sangat meresahkan petani tembakau, khususnya di Jawa Timur,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno, Senin, 22 Agustus 2016.

Soeseno pun mencontohkan kasus di Pamekasan, Sumenep, dan Madura. Saat ini, dari laporan sejumlah petani, tembakau jenis Perancak 95 yang harganya mencapai Rp40 ribu hingga Rp60 ribuan kini dipaksa ditawar untuk dijual dengan harga Rp18.000 per kilogram atau Rp19.500.

Menurut Soeseno, selama ini petani selalu menerima informasi seputar tembakau secara asimetris, sehingga kerap dimanfaatkan oleh tengkulak maupun pedagang yang hanya mencari untung.

Karena itu, ia meyakini dengan munculnya isu Rp50 ribu per bungkus. Maka akan berdampak pada kelangsungan hidup petani tembakau di daerah. “Bayangkan saja, mereka bisa rugi jutaan rupiah karena harga jual tembakau rusak gara-gara informasi tidak benar,” kata Soeseno.

Sebelumnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo di Surabaya, Jumat, 19 Agustus 2016, juga menanggapi usulan kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu demi memenuhi target pendapatan pajak, dianggap sebagai kebijakan yang terburu-buru.

Soekarwo juga menganggap jika alasan menaikkan tersebut untuk mencegah anak agar tidak merokok, juga dianggap tidak efektif.

Terancam Gulung Tikar, Asosiasi Pengusaha Rokok Protes Rencana Kenaikan Cukai di 2025

Saat ini terdapat sekitar 6,1 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari rokok. Termasuk juga pendapatan daerah dari cukai rokok sudah cukup tinggi. Provinsi Jawa Timur mendapatkan sumbangan dari cukai rokok hingga Rp2,2 triliun, yang kemudian dibagi sebesar 30 persen untuk pemerintah provinsi dan sisanya untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

"Sumbangan cukai dari Jatim ke pusat sebenarnya mencapai Rp100 triliun, tapi yang turun ke Jatim Rp 2,2 triliun," kata Soekarwo.

DPR Soroti Minimnya Pelibatan Publik Dalam Rancangan PP Tembakau dan Rokok Elektrik

Rokok Linting

Kini, selain berharap pemerintah bersikap tegas terhadap penyebar informasi seputar kenaikan Rp50 ribu per bungkus, APTI juga menentang secara tegas usulan kenaikan cukai eksesif yang bertujuan untuk menekan angka perokok aktif di Indonesia.

Optimalkan Penerimaan Negara, Ekonom Usul Kenaikan Cukai Rokok Moderat dan Multiyears

Sebabnya, kenaikan cukai yang eksesif akan menurunkan volume produksi rokok. Hal ini menyebabkan mata pencaharian sekitar enam juta orang yang terlibat dalam industri hasil tembakau (IHT) terganggu.

“Kenaikan cukai sebesar 11,5 persen pada tahun ini telah menyebabkan volume IHT menurun sebesar 4,8 persen pada semester 1 tahun 2016,” kata Soeseno.

Kebijakan cukai yang eksesif juga akan menyebabkan perdagangan rokok ilegal merajalela. Hasil studi Universitas Gadjah Mada dan Direktorat Bea dan Cukai pada 2014 ditemukan bahwa perdagangan rokok ilegal mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun.

"Kenaikan cukai eksesif akan dibarengi dengan menurunnya kemampuan daya beli masyarakat, maka konsumen akan mensiasati dengan mencari rokok yang lebih murah dan atau malah melinting sendiri," ujar Soeseno.

"Sudah barang tentu target pendapatan cukai tidak mencapai target, diperburuk lagi kenaikan cukai yang berlebihan akan menyuburkan pertumbuhan rokok illegal," tambah Soeseno.

Kenaikan cukai yang tinggi berakibat pada menurunya daya serap bahan baku tembakau dan cengkeh. Permintaan tembakau oleh pabrik pada masa panen tahun ini juga turun 15% dibanding tahun kemarin.

Padahal, kata Soeseno, tembakau adalah komoditas perkebunan yang menguntungkan ketimbang tanaman lainnya. Berdasarkan studi Universitas Airlangga pada 2013, rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani tembakau per satu hektar lahan adalah sebesar Rp20 juta. Angka ini lebih tinggi ketimbang petani padi, jagung, dan bawang merah, yang rata-rata mendapatkan Rp8 juta, Rp3 juta, dan Rp2,3 juta.

Selama 5 tahun terakhir telah mengakibatkan sekitar 1.200 pabrik rokok  tutup dan terjadi PHK  yang mencapai 102.500 pekerja. Penutupan pabrik dan PHK pekerja berdampak negatif pada  perekonomian nasional.

“Jika rokok ilegal makin marajalela, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembakau dan cengkeh. Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok illegal tidak membayar cukai,”jelas Soeseno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya