Justice Collaborator Bisa Jadi 'Pintu Suap' Petugas Lapas
- U-Report
VIVA.co.id – Direktur Jenderal Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), I Wayan Dusak, membeberkan dampak dari syarat justice colaborator (JC) agar narapidana mendapatkan remisi. Bagi dia, selain syarat itu memicu kerusuhan di Lapas, juga membuka peluang terjadinya praktek penyuapan di dalam kompleks penjara.
"Oknum (petugas) saya itu, karena dia sering berhadapan dengan napi-napi, ya karena syaratnya harus JC, selalu ditawari 'Bapak bisa enggak mengurus JC saya?' Coba bayangkan itu terjadi setiap hari lho. Lama-lama kan nyari (tergoda) juga dia," kata Dusak di kantor Kemenkumham, Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Agustus 2016.
Lantaran praktik mengurus JC itu, ungkap Dusak, banyak pegawainya yang ketahuan menerima suap, lalu dipecat. Alhasil, setiap tahun Lapas sering kekurangan pegawai pembina.
"Pegawai saya (di Lapas) itu paling banyak dihukum dan diberhentikan di kementerian ini setiap tahun. Makanya sekarang kami mengeluh kurang pegawai terus kan. Bagaimana enggak diberhentiin, mereka tiap hari ketemu bandit-bandit," kata Dusak.
Lagipula, tekan Dusak, pengetatan remisi dengan cara JC dalam lingkup pembinaan pelaku kejahatan narkotika, korupsi dan terorisme, sangat tak tepat. Itu menurutnya justru menimbulkan ketidakadilan dan diskriminatif.
Karena banyak negatifnya, kata Dusak, isi PP Nomor 99 Tahun 2012 sudah tepat dikembalikan seperti aturan sebelumnya, yakni narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 dari masa hukumannya, berhak mengajukan remisi. Daripada syarat JC yang notabene baru menjalani masa hukuman enam bulan, sudah bisa mendapat remisi. "Itu kan sama juga tak adil," ujar dia.
Edwin Firdaus / Jakarta
(ren)