Penganiaya Guru di Makassar Menyesal dan Mohon Maaf

Ilustrasi/Kekerasan
Sumber :
  • pixabay.com

VIVA.co.id – Adnan Ahmad, tersangka penganiayaan guru arsitek Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Makassar, Dasrul, menyesal telah menganiaya guru tersebut. Adnan yang berusia 43 tahun itu mengaku khilaf dan berharap Dasrul dan masyarakat bisa memaafkannya.

Ruang Kelas Sebuah SD di Sukabumi Ambruk saat Belajar-Mengajar Berlangsung

Adnan menuturkan, tidak menyangka kedatangannya ke sekolah anaknya, MA (15 tahun) saat itu berujung penganiayaan yang membuat heboh masyarakat Tanah Air.

"Saya sangat menyesal melakukan itu, kejadiannya spontan. Padahal, saya waktu itu hanya bermaksud menemui kepala sekolah dan guru, karena anak saya menelepon, katanya dipukul gurunya," kata dia, Sabtu 13 Agustus 2016.

Pemda Sebut Sistem Zonasi PPDB Sesuai dengan Pemerataan Akses dan Mutu Pendidikan, Ada Tapinya

Saat memasuki halaman sekolah dan hendak menuju ruangan kepala sekolah, tiba-tiba dia berpapasan dengan Dasrul. Ia langsung saja menanyakan terkait pemukulan anaknya itu. "Tiba-tiba emosi saya tidak tertahan dan refleks memukulnya, itu mungkin karena emosi," jelasnya.

Dengan kejadian ini, ia hanya pasrah dan siap menghadapi proses hukum. Namun, Adnan tetap berharap mendapat keadilan.

Sekolah Damai BNPT, Benteng Toleransi dan Anti Kekerasan Sejak Usia Dini

"Saya menyesal, tetapi semuanya sudah terjadi. Tetapi, saya tetap berharap keadilan, apalagi anak saya jadi korban," tuturnya.

Sebelumnya, Adnan melaporkan balik Dasrul, karena anaknya sempat dipukul oleh Dasrul di kelas sebelum diminta keluar ruangan.

Kepala Kepolisian Sektor Tamalate Makassar Komisaris Azis Yunus mengatakan, jajarannya tetap memproses laporan tersebut.

"Kita tetap proses dan menunggu bukti berupa hasil visum dan meminta keterangan saksi," katanya, Jumat 12 Agustus 2016. (asp)

Nadia Putri Darmawan, Siswi Beragama Kristen yang sekolah di Madrasah Islam.

Cerita Nadia Siswi Kristen di Kota Bogor Sekolah 9 Tahun di Madrasah

Seorang siswi beragama Kristen di Kota Bogor terpaksa sekolah di masdrasah tsanawiyah, setara sekolah menengah pertama, lantaran tak memiliki biaya untuk mengenyam SMP.

img_title
VIVA.co.id
16 November 2024