Cerita Jenderal Tito Tangkap Teroris yang Ingin Mati Syahid
- ANTARA FOTO/Basri Marzuki
VIVA.co.id - Jenderal Polisi Tito Karnavian kini tengah berada di puncak karir dengan menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sebelum menjadi orang nomor satu di Polri, pria 51 tahun ini pernah menjabat beberapa posisi penting dalam jajaran Kepolisian.
Selama menjadi anggota polisi, Tito mengaku pernah berhadapan langsung dengan berbagai tindak kejahatan dan pelakunya, termasuk pelaku teror bom.
Menurut Tito, par‎a pelaku bom termasuk kelompok separatisme, di mana para pelaku menyatakan siap untuk mati. Dia lantas menceritakan pengalamannya memeriksa pelaku bom di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, beberapa tahun lalu.
‎"Saya tanya kenapa bom mobil boksnya tidak ditaruh, setelah itu (meledakkan bom) dengan remot. Kenapa tidak begitu? Dia jawab 'karena dia (ingin) cari mati'," ujar Tito di Centre for Dialogue and Cooperation among Civillsations (CDCC), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Agustus 2016.
Para pelaku bom, menurut Tito, biasanya memiliki dua momentum agar kematiannya dianggap syahid sehingga diyakini masuk surga. P‎ertama, momentum amaliah. Para pelaku akan meledakkan bom saat amaliah atau eksekusinya dengan cara meledakkan diri sendiri. Contohnya, bom di kawasan Thamrin, Jakarta, awal 2016. Momentum kedua yaitu mati dalam keadaan suci.
Menurut pelaku, kata Tito, momentum tersebut terjadi saat konfrontasi dengan petugas. Dia lalu teringat saat menangkap dua pelaku bom yang merupakan bagian dari kelompok Nurdin M Top, beberapa tahun lalu. Ketika itu, Tito menanyakan soal keberadaan dua rekan pelaku. Dia juga menanyakan kode apa yang digunakan para pelaku jika harus melarikan diri.
"Dia (pelaku) jawab, ‎kalau sampai azan Magrib kami belum pulang maka kami telah terjadi apa-apa, dan kalian harus melarikan diri," kata Tito mengutip perkataan pelaku.
Saat itu, ‎Tito menuturkan, dia tak kehabisan akal meski rekan pelaku akan kabur dalam waktu kurang dari dua jam. Dia lantas melibatkan seorang anggota polisi yang fasih berbahasa Sunda untuk menyamar sebagai sopir angkutan kota. Polisi yang menyamar itu membawa kabar kepada dua pelaku bahwa rekan mereka mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit.
Polisi itu lalu mendengar percakapan bahwa pelaku membawa bom dan senjata di tas ranselnya. Akhirnya, dengan cepat, polisi menangkap pelaku tersebut. "Ingat betul waktu Magrib dan hujan di bulan puasa. Kami ikat (pelaku) dimasukkan ke mobil, pelaku nangis keras sekali," ujar Tito.
Melihat hal itu, petugas lantas bertanya alasannya menangis. Ternyata, pelaku menangis karena tidak terjadi konfrontasi dengan petugas. Tito kembali bertanya alasannya. Pelaku menjawab, "Karena kesempatan kita (pelaku) masuk surga hilang," ujar Tito mengutip perkataan pelaku.
"Lalu kenapa tidak bunuh diri saja? Dia (pelaku) malah menjawab 'kalau hal itu masuk neraka pak'," ujar Tito menirukan.
(mus)