Pelaporan Haris Azhar Bisa Jadi Preseden Buruk

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id - Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Anti Kekerasan (Kontras), Haris Azhar dilaporkan atas dugaaan penghinaan atas tulisannya yang berdasarkan pengakuan dari Freddy Budiman. Pada kesaksiannya, Freddy mengungkapkan keterlibatan sejumlah pejabat Badan Narkotika Nasional, TNI serta Polri dalam sindikat narkoba.

Meski belum terverifikasi, Haris lantas mengunggah kesaksian Freddy tersebut dalam sebuah tulisan. Namun, Haris kemudian dilaporkan oleh 3 lembaga penegak hukum yang disebut Freddy dalam kesaksiannya tersebut.

Pelaporan terhadap Haris yang meneruskan keterangan Freddy, dinilai dapat menjadi preseden buruk dalam pengungkapan suatu informasi. Masyarakat dikhawatirkan akan menjadi takut untuk mengungkapkan sesuatu hal.

"Kekhawatiran itu sudah sejak lama dan berlangsung terus," kata Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta saat dihubungi VIVA.co.id, Kamis 4 Agustus 2016.

Bahkan, Gandjar pesimis kasus seperti ini akan berhenti pada Haris Azhar saja. Dia memperkirakan masih akan terjadi kasus-kasus yang serupa.

"Kasus ini pun enggak akan menghentikan peristiwa serupa di masa depan," sebut Gandjar.

Sebelumnya, Peneliti Senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju menyebut tulisan Haris Azhar merupakan pengungkapan kebenaran demi kepentingan umum. Dasar menyatakan pendapat tersebut, menurut Anggara, dilindungi sebagai hak asasi manusia di bawah hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi yang harus dijamin oleh negara di bawah perintah Konstitusi.

Wali Kota Kendari Bantah Janji Nikahi Model Seksi Destiara

"Bukan hanya karena hal tersebut adalah hak asasi semata, melainkan juga untuk kepentingan umum yang lebih luas," sebut dia.

Anggara menyebut kasus pengungkapan kebenaran terkait pelanggaran hukum, sudah beberapa kali terjadi di Indonesia. "Namun sayangnya, kami melihat bahwa aparat penegak hukum justru cenderung tidak menindaklanjuti pernyataan tersebut dan malah menebar iklim ketakutan pada masyarakat dengan justru memproses para pengungkap kebenaran dengan tuduhan penghinaan atau pencemaran nama baik," ujar Anggara.

Dia lantas menuturkan beberapa kasus seperti Kasus Rudy Lombok yang mengkritisi kinerja pengurus Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Nusa Tenggara Barat (NTB) lewat Facebook miliknya. Rudy justru harus mendekam 12 hari di tahanan Mapolda NTB, setelah dilaporkan telah melakukan pencemaran nama baik Kepada BPPD NTB pada 11 Mei 2015. Pelapornya adalah Taufan Rahmadi , Ketua BPPD NTB itu sendiri.

Kasus lain yakni kasus Muh. Arshad yang dilaporkan oleh Bupati Kepulauan Selayar Drs. H. Syahrir Wahab karena mengirim SMS dengan bunyi “Yang Terhormat Pak Bupati… Menurut info teman teman dari MK Perkara Pilkada Selayar No. 73/PHPU-D-VIII/ 2010, tertanggal 08 Agustus 2010 termasuk dalam kelompok berkas yang ditandatangani P’ Akil Muchtar dan siap investigasi”. SMS ini dianggap meneror Bupati. Muh. Arshad dan kemudian diproses dengan pidana pencemaran nama baik dan penghinaan.

Terakhir, kasus Mahasiswa Universitas Khairun, Adlun Fiqri menjadi tahanan kepolisian resort Ternate. Ia menjadi tersangka setelah mengunggah video berjudul Kelakukan Polisi Minta Suap di Ternate ke youtube. Adlun dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik Kepolisian.

"Rangkaian kasus diatas menunjukkan bahwa sejarah pengungkapan kasus yang bermula dari pengungkapan kebenaran yang dilindungi oleh hak kebebasan berpendapat dan berekspresi masih rentan tercederai di Indonesia. Kami menyayangkan dalam beberapa pemantauan kami, aparat penegak hukum gagal untuk meyakinkan masyarakat bahwa mengungkapkan kebenaran yang juga berarti mempermudah tugas aparat dalam mengungkap kejahatan akan dilindungi oleh hukum," tutur Anggara.