Tolak Jadi Eksekutor Kebiri, IDI Beri Saran ke Pemerintah
- REUTERS
VIVA.co.id – Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih menjelaskan alasan IDI menolak sebagai eksekutor kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Ia khawatir jika hal tersebut akan menjadi persoalan etik di dunia kedokteran. Â
"Karena kode etik kedokteran tidak mungkin melakukan itu. Bicara etika kedokteran porsinya lebih besar dari porsi lain. Kalau satu persoalan ini bocor akan membuka kotak pandora persoalan etika lainnya," kata Daeng dalam rapat dengan Komisi VIII di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Senin 25 Juli 2016.
Dia mengatakan, apabila dokter menjadi eksekutor kebiri kimia maka persoalan pelanggaran etika kedokteran akan muncul sebagaimana dalam kasus aborsi dan eutanasia. Dalam etika kedokteran, seorang paramedis menurutnya tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang menyakitkan seseorang.
"Di beberapa negara bukan dokter yang lakukan. Semua eksekusi yang hukum bukan dokter yang melakukan. Misal potong tangan, suntik mati. Di Arab dokter tak boleh tahu di mana potongan tangannya karena kewajiban dokter adalah kalau ada potongan tangan ya harus disambung," kata Daeng.
Ia menilai, apabila dokter yang melakukan eksekusi maka justru akan membentuk dokter yang tak taat pada etika dan menjadi figur yang berbahaya untuk pelayanan medis ke depan.
"Kalau DPR setuju Perppu ini, kami akan memberikan masukan supaya pelaksanaan tak berbenturan dengan etika kami. Pemerintah bisa tunjuk eksekutor. Kalau perppu disetujui dan bukan dokter yang laksanakan apakah hukuman ini tak bisa dijalankan, tidak juga. Jangan pertentangkan karena IDI tak bisa," katanya.
Ia menyarakan agar pemerintah menunjuk eksekutor khusus dalam hal kebiri. Apalagi jika dilakukan dengan memberi obat, maka kata dia bisa dilakukan tanpa kehadiran dokter. Â
"Kalau disuntik silakan dilatih. Menyuntik keahlian sederhana. Jangankan petugas kesehatan, orang awam mudah. Ada yang sakit diabetes, tak mungkin tiap saat ke dokter minta disuntik. Kalau disetujui DPR jangan dibenturkan siapa eksekutornya. Kami hanya jaga etika," ujar dia.
Ia mengatakan, jika didasarkan pada fakta kejahatan seksual, maka IDI sebenarnya setuju dengan tujuan pemberatan hukuman. IDI bahkan mengapresiasinya. Persoalan kekerasan seksual pada anak harus direspons dengan ganjaran keras. Namun IDI meminta agar tidak dibenturkan dengan etika profesi dalam kedokteran.
"Untuk capai tujuan dan komitmen kita harus pikir cara apa yang terbaik. Jadi tak ada kaitan Pengurus Besar IDI menolak atau menerima."
(mus)Â