Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dinilai Belum Ramah Anak
- U-Report
VIVA.co.id - Memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli 2016, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, berharap model sistem peradilan pidana terhadap anak di Indonesia lebih ramah anak dan semakin baik. Itu usai adanya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Menurutnya, banyak pihak juga memberikan harapan besar yang sama terhadap lahirnya UU SPPA itu. Namun faktanya, sudah empat tahun berlalu sejak disahkan pada 30 Juli 2012, hingga kini implementasi SPPA belum juga terbukti.
Padahal, berdasarkan UU SPPA, pemerintah diwajibkan untuk membuat enam materi dalam bentuk peraturan pemerintah dan dua materi dalam bentuk peraturan presiden.
"Regulasi pendukung dari UU SPPAÂ tak kunjung diselesaikan. Namun sampai saat ini peraturan pendukung malah belum semua tersedia," kata Supriyadi dalam keterangannya, Minggu, 24 Juli 2016.
Supriyadi mengatakan, pemerintah baru merampungkan dua materi Peraturan Pemerintah (PP tentang Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur Dua Belas (12) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang Pelatihan Apgakum.
"Salah satu masalah yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan, dan penahanan anak," ujar dia.
Adanya UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS sebagai pengganti tempat penangkapan, Penahanan dan Lapas Anak.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya. Sedangkan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) adalah tempat penitipan anak yang ditangkap jika belum ada ruang pelayanan khusus anak dan tempat pembinaan anak (di bawah 12 tahun). Sedangkan Ruang Pelayanan Khusus anak (RPKA) adalah tempat penitipan anak yang ditangkap selama 1 x 24 jam.