Hari Adhyaksa

Jangan Coba-coba Sogok Dokter Kejaksaan ini

Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya.
Sumber :
  • Tudji Martudji/Surabaya

VIVA.co.id - Hari ini, Jumat, 22 Juli 2016, Kejaksaan memperingati hari jadinya ke-56. Kantor korps adhyaksa di seluruh Indonesia menggelar ragam kegiatan. Evaluasi kinerja jaksa tentu juga dilakukan. Ada catatan gemilang, tak sedikit pula catatan hitam.

Kejagung: Kasus Tom Lembong Murni Penegakkan Hukum Demi Ketahanan Pangan

Setiap peringatan Hari Adhyaksa, biasanya dimunculkan prestasi kinerja antar-Kejaksaan di daerah-daerah. Penghargaan terhadap jaksa berprestasi juga diberikan. Demikian pula di lingkungan kerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur.

Namun, di Kejati Jatim, ada satu sosok yang luput dari perhatian. Padahal, perannya juga penting terhadap lancarnya penanganan kasus, pidana umum atau pidana khusus. Dia yang menentukan tersangka bisa ditahan atau tidak, atau saksi yang sudah uzur bisa dimintai keterangan atau tidak. Dia juga jadi pengukur kedisiplinan jaksa.

Usut Kasus Tom Lembong, Kejagung Bakal Periksa Semua Mendag

Sosok yang luput dari perhatian itu ialah dokter Kejaksaan. Di Kejati Jatim, dokter yang bertugas di klinik Kejaksaan berkantor di Jalan A Yani Surabaya itu bernama dr Faizal Arief. Pria kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 32 tahun lalu itu berdinas di Kejati Jatim sejak tahun 2010, setelah lulus seleksi di Kejagung pada tahun 2009.

Jangan Coba-coba Menyogok Dokter Kejaksaan Jatim Ini

Tolak Praperadilan, Istri Tom Lembong Kecewa dengan Putusan Hakim PN Jaksel

Ada dua tugas pokok Dokter Faizal di Klinik Kejati Jatim, yakni melayani pegawai negeri sipil (PNS) Kejaksaan dan keluarganya, juga keluarga pensiunan jaksa. "Tugas kami juga membantu penyidik memeriksa kesehatan pihak beperkara, seperti tersangka, saksi, maupun tahanan Kejaksaan," katanya ditemui VIVA.co.id di ruang praktiknya pada Jumat, 22 Juli 2016.

Soal penanganan pihak beperkara, Faizal dikenal objektif di lingkungan Kejati Jatim. Ia akan membuatkan resume medis sesuai hasil pemeriksaannya. "Kalau pasien, tersangka yang akan ditahan atau saksi yang akan diperiksa, kesehatannya memungkinkan diproses, ya, kami sampaikan sesuai yang kami lihat dan diagnosis," ujarnya.

Namun, kata Faizal, jika ditemukan indikator gangguan kesehatan yang perlu ditindaklanjuti pada tersangka, ia memberikan rekomendasi ke penyidik agar dimintakan second opinion (pendapat pembanding) dari dokter ahli, atau bahkan direkomendasikan rujuk ke rumah sakit. "Di sini biasanya second opinion atau rujukannya ke RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) dr Soetomo atau RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut),” katanya.

Menangani pasien beperkara, kata Faizal, bukan tanpa tantangan. Dia kerap harus berlawanan dengan second opinion dari dokter yang dibawa tersangka, yang berupaya agar lolos dari penahanan. "Tapi kami tetap berpegangan pada hasil pemeriksaan kami. Jika ternyata tidak ditemukan indikator gangguan kesehatan, kami tetap keluarkan resume medis sebagai rujukan yang memungkinkan untuk ditahan.”

Jangan Coba-coba Menyogok Dokter Kejaksaan Jatim Ini

Dokter Faizal Arief di ruang praktiknya di Klinik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Surabaya, pada Jumat, 22 Juli 2016. (VIVA.co.id/Nur Faishal)

Ada pula tersangka yang pernah merayunya dengan imbalan materi untuk mengeluarkan resume medis yang menerangkan bahwa tersangka sakit, agar lolos dari penahanan. "Pernah ada, tapi kami tetap sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi), resume sesuai apa yang kami lihat, sesuai hasil diagnosis. Saya tolak (suap tersangka itu)," ujar Faizal.

Bukan hanya pada pihak beperkara. Faizal juga tegas kepada jaksa. Kerap ada jaksa yang meminta surat keterangan sakit kepadanya untuk digunakan izin tidak masuk bekerja. Padahal, si jaksa tidak sakit. "Kami tetap keluarkan resume medis sesuai hasil pemeriksaan. Kalau tidak sakit, ya, resumenya tidak sakit.”

Karena sikap tegasnya itu, Faizal beberapa kali menerima sindiran tak enak dari beberapa jaksa yang gagal meminta surat sakit bolos darinya. "Kalau didamprat belum pernah, tapi disindir-sindir saja. Tapi pada umumnya komunikasi kami dengan jaksa dan pegawai di sini baik," katanya.

Mungkin karena tak neko-neko, Dokter Faizal tergolong hidup sederhana. Pria beranak dua itu baru memiliki rumah sederhana di Sidoarjo pada 2012, tiga bulan setelah menikah. Sebelumnya, ia tinggal di mes Kejati Jatim. Ia juga belum bermobil seperti dokter pada umumnya.

"Sepeda motor sudah cukup. Anggaran keluarga saya fokuskan ke biaya S2 (kuliah pascasarjana strata dua) dan cicilan rumah," ujar Faizal.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya