Pemerintah Siapkan Pedoman untuk Lakukan Vaksin Ulang

Seorang tenaga medis menunjukkan vaksin campak
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA.co.id – Beredarnya vaksin palsu membuat banyak orangtua geram serta merasa dirugikan. Dalam hal ini, baik pemerintah dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya telah menyarankan untuk melakukan vaksin ulang. Namun, ternyata mekanisme ini juga perlu kehati-hatian, dan tidak semua bisa langsung diberi vaksin ulang.

WHO Temukan Vaksin Palsu COVID-19 di India dan Afrika

Meski bisa dilakukan catch up, tidak bisa semua dilakukan vaksin ulang. Karena itulah pemerintah bertindak hati-hati dan memiliki pedoman tersendiri untuk melakukan vaksin ulang. Seperti dikatakan Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, yang ditemui usai senam sehat bersama karyawan jajaran Kementerian Kesehatan, di Kantor Kementerian Kesehatan RI, Kuningan, Jakarta Selatan, 15 Juli 2016.

"Setelah dapat data rumah sakit, nanti kami di Kementerian Kesehatan tentu akan melihat medical record-nya, dan menyisir pada siapa saja yang dapat vaksin palsu. Kita kerjasama IDAI," kata Nila.

Lebih 2.500 Warga India Jadi Korban Vaksin COVID-19 Palsu

Menurut dia, ada delapan vaksin wajib. Beberapa di antaranya adalah BCG, DPT dan Polio. Ia mengatakan bahwa pihaknya harus melihat mana vaksin yang palsu karena tidak semua dari delapan vaksin tadi dipalsukan.

“Karena seperti vaksin tidak impor, mereka tetap menggunakan dari program pemerintah. Jadi umumnya mereka ambil yang impor,” kata Nila.

Jual Vaksin COVID-19 Palsu, 80 Orang Diamankan Polisi China

Ia pun mengatakan, jika diperlukan, imunisasi ulang bisa dilakukan. IDAI memiliki pedoman dan tidak sembarangan menyuntik. Kemudian Menkes memberi contoh di Ciracas.

"Mereka punya data status, kita lihat status anak A apa yang diberikan. Vaksin Hepatitis B, misalnya isinya apa dulu. Kalau hanya Hepatitis B, kita berikan Hepatitis B tapi sesuai pedoman imunisasi. Imunisasi kalau cakupan sudah 90 persen mereka sudah terlindungi secara environment,” katanya.

Mengenai hal ini, sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr.H.M. Subuh, sudah menjelaskan beberapa waktu lalu.

"Kita mapping radius, kalau di daerah tidak mencapai UCI (Universal Child Immunization) kurang dari 90 persen, maka lakukan imunisasi ulang semuanya," kata Subuh menjelaskan prosedur tetap atau protap yang dilakukan saat suatu daerah terbukti adanya vaksin palsu

Namun, ia mengatakan jika persentase UCI tertentu telah ditentukan, maka tidak dilakukan imunisasi ulang semuanya.

“Yang kita lakukan adalah himbauan. Karena prinsip imunisasi adalah 90 persen masyarakat anak yang diimunisasi bisa melindungi 10 persen yang tidak diimunisasi,” katanya.

Ia pun menjelaskan, jika bayi berusia 0 hingga 11 bulan sebaiknya diimunisasi ulang. Sedangkan anak usia 1 hingga 3 tahun dan 3 hingga 7 tahun perlu memperhatikan beberapa jenis vaksin yang perlu diulang.

"Kriteria 0 hingga 11 bulan imunisasi ulang semuanya, imunisasi dasar lengkap yang delapan (vaksin). (Usia) 1 hingga 3 tahun BCG tidak perlu, yang lainnya perlu, (usia) 3 hingga 7 tahun polio tidak perlu karena itu sudah tidak efektif lagi. Di atas (usia) 7 tahun yang perlu dilakukan adalah difteri dan tetanus, yang lain tidak perlu. Sudah kita buat protap seperti itu, dan dari absensi yang kita lakukan di seluruh provinsi,” ujarnya.

Ilustrasi vaksinasi COVID-19

Hoaks, WHO Temukan Vaksin COVID-19 Palsu di Indonesia

Beredar informasi di media massa yang menyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan vaksin COVID-19 palsu di Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
20 Agustus 2021